“Dikhawatirkan kendaraan listrik yang bahan bakunya berasal dari proses yang masih gunakan batubara, tapi diberi label ‘hijau’, menimbulkan persepsi yang salah di mata konsumen dan investor mitra Hyundai,” ucap Bhima.
Sementara, Fiorentina Refani, Peneliti dari Celios menuturkan, pembangunan megaproyek mengarahkan Kalimantan Utara dalam pusaran bencana ekologi. Menurut dia, proyek tersebut cenderung mendorong adanya deforestasi, pengerukan laut, cemaran limbah panas air bahang, abrasi pantai, penghancuran sumber-sumber air serta kelola pertanian secara lokal.
“Hingga hilangnya berbagai biodiversitas,” kata Fio.
Dia menjelaskan untuk memenuhi ambisi hilirisasi nasional, KIHI berisiko meninggalkan jejak kerusakan ekologis dari hulu ke hilir; dari proses ekstraktif, proses produksi, hingga distribusinya. Bahan mentah yang menyokong industri di KIHI juga merupakan hasil penambangan yang menggerus kelestarian pulau-pulau lain, terutama nikel.
Sehingga, Fio berujar, sangat disayangkan kebijakan Cina menghentikan seluruh pembangunan PLTU captive untuk smelter aluminium dalam negeri ternyata hanya menggeser krisis ke negara-negara tetangga. Salah satunya yang memiliki bahan baku serta regulasi lebih lemah dalam perlindungan sosial dan lingkungan hidup.
“Pembacaan akumulasi dampak KIHI tidak bisa dengan batasan temporal-spasial sebab ia melewati batas-batas administratif kenegaraan,” tutur Fio.
Pilihan editor: Luhut Berencana Tutup PLTU Swasta untuk Atasi Polusi Udara Jakarta, Ekonom UGM: Layak Diterapkan