Bahlil juga mengaku sempat bertemu dengan warga dan pejabat setempat untuk berbicara tentang proyek hilirisasi tersebut. “Pada awal Agustus belum kacau begini. Saya menemui warga dan bicara. Kurang lebih ada 3.000 kartu Keluarga (KK) dan 16 kampung tua. Saya datang bukan katanya, saya datang di kampung itu, duduk di kantor kecamatannya,” papar Bahlil.
Dari pertemuan tersebut, Bahlil mengetahui bahwa sebagian warga Rempang memiliki hak atas tanah tempat tinggalnya. Namun, sebagian warga lain yang merupakan pendatang tidak memiliki hak alas dalam bentuk apapun. Pasalnya, Nyat Kadir yang kala itu menjabat sebagai wali kota Batam periode 2001-2005 tidak lagi menerbitkan izin hak kepada warga baru setelah 2004.
“Pemerintah waktu kita merumuskan antara Pemda Batam yang notabene ex-officio kepala BP Batam, gubernur, dan sebagian Forkopimda, analisisnya karena sebagian yang tinggal di situ tidak punya alas hak, berarti tanah itu dikuasai negara lewat BP Batam,” ucap Bahlil.
Meski sebagian lahan di kawasan tersebut dikuasai negara, namun Bahlil mengatakan tidak ingin menggusur warga setempat begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah pun memberikan solusi untuk masyarakat dengan kompensasi berupa tanah 500 meter persegi dan rumah tipe 45 yang sudah diberikan alas hak berbentuk sertifikat.
Selama masa pembangunan rumah itu, kata Bahlil, warga yang terdampak akan diberikan uang tunggu untuk mengontrak tempat tinggal. Tetapi, belum selesai perhitungan untuk besaran uang tunggu dilakukan, keadaan sudah memanas.
“Memang ada aspirasi lain jangan Rp 1,03 juta per orang (untuk uang tunggu), ada mintanya agak naik, saya kan belum menghitung baik dengan tim, tapi kondisinya sudah kayak begini,” kata Bahlil.
Hal senada disampaika Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare tersebut, kata Hadi, merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Hadi menjelaskan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Hasilnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan tersebut.
Pemerintah juga menawarkan mencarikan tempat tinggal baru atau relokasi yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yakni sebagai nelayan. Selain itu, pemerintah menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut untuk memudahkan dalam mencari nafkah.
Selanjutnya: Pada kesempatan berbeda, Bahlil pun...