Sementara itu, untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam negeri, BI memastikan kebijakan makroprudensial yang longgar terus dikonsentrasikan pada peningkatan efektivitas pemberian insentif likuiditas kepada perbankan, khususnya untuk mendorong pemberian pinjaman dan pembiayaan di sektor-sektor, termasuk hilir, perumahan, pariwisata, serta pembiayaan inklusif dan ramah lingkungan.
Sedangkan untuk mengatasi risiko yang terkait dengan peningkatan Federal Funds Rate (FFR) dan penguatan dolar AS, BI telah menerapkan beberapa langkah, termasuk pengenalan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
SRBI diperkenalkan sebagai instrumen operasi moneter (kontraksi) yang pro pasar. Inisiatif itu bertujuan untuk mendorong pengembangan pasar uang lebih dalam, menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, dan mengoptimalkan penggunaan Surat Berharga Negara (SBN) milik BI sebagai underlying aset.
SRBI memiliki ciri-ciri seperti memanfaatkan SBN sebagai underlying aset, jangka waktu antara 1 minggu sampai dengan 12 bulan, diterbitkan secara elektronik, diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto, dapat dipindahtangankan, serta dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di pasar sekunder.
Selain itu, BI terus berupaya menstabilkan nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
BI juga terus menyempurnakan efektivitas instrumen devisa hasil ekspor (DHE), sejalan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023. BI memperkirakan kebijakan tersebut mampu menarik aliran dana masuk bulanan sebesar 8–9 miliar dolar AS.
Pilihan editor: Bos Bank Indonesia Perkirakan Fed Fund Rate Naik Dua Kali Lipat