TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia memanfaatkan opsi pembiayaan campuran (blended finance) karena dinilai sebagai salah satu sumber alternatif untuk mengejar transisi menuju energi bersih pada 2060.
“Indonesia memanfaatkan blended finance dari PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur) dan dari ADB (Bank Pembangunan Asia),” kata Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Gigih Udi Atmo di sela Forum Pembiayaan Energi ASEAN di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu.
Selain itu, lanjut dia, ada juga dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) yang dapat mendukung transisi energi.
JETP sebelumnya disepakati pemimpin negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 2022 yang bekerja untuk merealisasikan kerja sama pendanaan transisi energi.
"Itu (JETP) hanya beberapa proyek dan itu terbatas di sektor pembangkit listrik, sedangkan berbicara (transisi energi) ada industri, transportasi, perumahan, dan gedung komersial,” katanya.
Senada dengan Gigih, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro dalam kesempatan yang sama mengungkapkan pembiayaan campuran dan nilai ekonomi karbon atau carbon pricing menjadi opsi pembiayaan transisi energi.
Menurut dia, pembiayaan campuran tidak hanya mengelompokkan sumber dana yang berbeda tapi juga dapat fokus memobilisasi modal sektor swasta.
Selanjutnya: Sedangkan nilai ekonomi karbon....