Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemerintah jika ingin mengembangkan sorgum, terlebih jika ingin menjadikannya sebagai subtitusi impor gandum.
Tantangan yang pertama adalah skala produksi. Bhima meyakini hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanam sorgum. Karena masyarakat di wilayah lainnya lebih tertarik menanam beras.
Musababnya, jika menanam beras, petani memiliki jaminan stabilitas harga. Misalnya harga pembelian beras atau gabah dari Perum Bulog. Sehingga, ada kepastian lanjutan bisnis jangka panjang bagi petani beras. "Jadi belum bisa, belum bisa. Skala produksi sorgum masih terlalu kecil," kata dia.
Tantangan yang kedua, Bhima mengatakan, jika pemerintah mau membuat food estate sorgum seharusnya memperbaiki dulu food estate yang sudah ada saat ini. Pasalnya, banyak food estate yang terbukti gagal pada saat pengerjaan maupun pengolahan pasca-panen.
Menurut Bhima, seharusnya kegagalan dalam proyek food estate bisa menjadi evaluasi terlebih dahulu untuk menata kekurangannya. Seperti masalah irigasi, masalah manajemen, hingga kerja sama dengan para petaninya yang banyak terjadi di daerah food estate saat ini. Kegagalan pun terbukti dari ramainya food estate dalam dua tahun terakhir, tetapi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata luas lahan panen padi itu turun 2 persen di tahun 2021.
Kemudian tantangan ketiga, Bhima berujar komoditas sorgum memang dapat digunakan untuk bio ethanol atau bahan bakar, sama halnya dengan tebu. Sehingga, sorgum terbagi dua kegunaanya yaitu untuk pangan dan energi. Dengan demikian, pemerintah perlu menentukan ke arah mana pengembangannya.
Pilihan Editor: Moeldoko Masak Nasi Goreng Bareng Bapanas, Sosialisasi Pangan Substitusi Beras