TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi sekaligus Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut rekomendasi Dana Moneter Internasional atau IMF pada krisis ekonomi 1998 menjadi cikal bakal deindustrialisasi.
Ekonom dari Institute for Developmet of Economics and Finance atau Indef, Andry Satrio Nugroho, berpendapat sebaliknya. "Saya tidak setuju dengan deindustrialisasi akibat adanya campur tangan IMF," ujar Andry ketika dihubungi, Senin, 3 Juli 2023.
Pasalnya, menurut dia, deindustrialisasi nyatanya terjadi karena tidak ada masterplan industri manufaktur jangka panjang, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang sudah obsolete dan tidak sesuai dengan perkembangan industri, serta didukung kebijakan industri yang tidak tepat sasaran.
"Tentunya kita tidak bisa samakan antara rekomendasi IMF ketika krisis (1998) dan hari ini. Ketika krisis, IMF merasa bahwa industri dirgantara dibiayai dari APBN, saat itu IMF memberikan bantuan dengan syarat adanya penyehatan APBN," tutur dia.
Sebelumnya, Bahlil mengatakan Indonesia memiliki sejarah panjang tentang IMF. Dia menjelaskan, pada 1998 ketika krisisis ekonomi, IMF merekomendasikan resep ekonomi untuk Indonesia.
"Dia rekomendasikan industri ditutup, contoh dirgantara. Bansos-bansos ditutup, daya beli masyarakat lemah. Di situlah cikal bakal terjadi deindustrialisasi," kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, 1 Juli 2023.
Pada saat itu, dia menjelaskan, bunga kredit dinaikkan sehingga hampir semua pengusaha kolaps dan terkena kredit macet hingga asetnya diambil. Bahlil menilai, hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat.
Selanjutnya: Lebih jauh, Bahlil menyarankan IMF sebaiknya ...