Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) pun ia nilai tak efektif menjaga stok minyak sawit mentah. Langkah itu, menurut Andi, justru menjadi pintu masuk bagi kasus pemufakatan jahat yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan dan sejumlah perusahaan minyak goreng.
Kebijakan jangka pendek seperti DMO dinilai rawan penyelewengan dan memperlambat mekanisme pasar, karenanya memerlukan pemantauan ketat dan sepatutnya hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, dia kembali menggarisbawahi perbaikan tata niaga industri sawit harus segera dilakukan.
Belajar dari perkara minyak goreng, kata dia, terlihat jelas ada dugaan permainan kartel, penetapan harga, dan penguasaan pasar yang tidak sehat dalam industri ini. Setidaknya ada delapan grup perusahaan konglomerasi sawit yang menguasai lebih dari 70 persen total perdagangan minyak goreng di Indonesia.
Oleh sebab itu, organisasi masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk membenahi struktur pasar minyak goreng. Sebab kondisinya selama ini cenderung oligopoli, di mana pasar dikuasai hanya oleh beberapa perusahaan tertentu.
Dia juga menduga terdapat perilaku kartel pabrik minyak goreng yang selama ini bersepakat menjadikan harga Crude Palm Oil (CPO) internasional sebagai referensi penentuan harga minyak goreng domestik. Sehingga seringkali menyamarkan harga riil perolehan CPO oleh pabrik minyak goreng.
Ketiadaan transparansi harga beli CPO oleh pabrik minyak goreng inilah yang menurutnya membuat kewajaran harga minyak goreng domestik seringkali dipertanyakan. Andi mengatakan Indonesia perlu menjaga kepentingan ketahanan pangan domestiknya.
"Dalam isu minyak goreng ini, pemerintah harus melakukan penegakan hukum dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat menopang untuk kepentingan jangka panjang," ujarnya.
Pilihan Editor: Kejagung: Penetapan 3 Tersangka Korporasi dalam Korupsi Minyak Goreng Tak Termasuk Ne Bis In Idem