Indonesia merupakan salah satu negara yang pertama kali meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu komitmen transisi energi yang ditargetkan pemerintah adalah pemanfaatan energi bersih hingga 23 persen pada 2025.
Untuk itu, Komaidi menuturkan, kemitraan strategis dengan investor internasional bisa mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. “Selain mengurangi penggunaan batu bara, ekosistem industri yang dapat menghasilkan baterai, seperti pertambangan nikel terus dikembangkan sebagai proyek strategis nasional,” ucap dia.
Namun, menurut dia, tantangan tetap ada dalam memastikan investasi berkualitas dan berdampak pada proses transisi energi menuju pengembangan ekosistem baterai. Sehingga, untuk memaksimalkan peran perusahaan asing terhadap perekonomian dalam negeri, pemerintah perlu menyesuaikan dengan peta kebijakan Indonesia dalam 5, 10 dan 15 tahun ke depan berdasarkan komoditas yang digarap.
“Contohnya, kalau berbicara tentang satu korporasi, katakanlah PT Vale Indonesia Tbk (INCO), berarti pemerintah berbicara soal peta kebijakan subsektor mineral dan arahnya pada produksi baterai,” kata Komaidi.
Selama ini, dia menjelaskan, produk Vale Indonesia diterima di pasar global, antara lain sebagai pemasok baterai pada perusahaan otomotif global, Ford Motor Inc. Di dalam negeri, aksi bisnis perusahaan juga menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian dan memberikan dampak sosial ke masyarakat.
Apalagi Vale Indonesia berencana membangun pabrik peleburan nikel berteknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan bahan baterai kendaraan listrik. “Jika di masa kontrak sebelumya, Vale Indonesia katakanlah orientasinya ekspor, pemerintah bisa melakukan negosiasi ulang agar direalokasi di dalam negeri karena di sini sudah ada smelternya,” tutur dia.
Vale Indonesia, kata Komaidi, juga tentunya harus memilih ekspor karena biasanya harga di luar lebih tinggi. “Bagaimana agar mereka mau memasok kebutuhan domestik? Mungkin ada treatment tertentu di aspek perpajakannya. Jadi segala sesuatnya sebetulnya bisa didiskusikan,” ujar dia.
Komaidi menilai, hal itu menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola investasi berkualitas, yang berorientasi pada lingkungan, dan diterima dalam pasar global. Dia mengatakan, keberhasilan pendekatan kolaboratif Indonesia menyoroti potensi hubungan yang saling menguntungkan antara keahlian lokal dan modal internasional.
“Memupuk masa depan yang lebih hijau sambil mengatasi tantangan global yang mendesak,” ucap Komaidi.
Pilihan Editor: Kementerian ESDM: Bukan Cuma Emas, Papua Punya Potensi Energi Baru Terbarukan hingga 381 Giga Watt
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini