TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menanggapi langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuka kembali ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang. Izin itu dibuka melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Abdul mengatakan, pertimbangan dilarangnya ekspor pasir laut sudah jelas dalam undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. "Kalau kita pahami, bahwa penambang pasir memang merusak lingkungan dan masyarakat sekitar, terutama berdampak kepada profesi masyarakat kecil seperti nelayan," katanya.
Hasil analisa Pusat Kajian Maritim, kata Abdul, ada dugaan terbitnya peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2023 ini dengan penghalusan bahasa sedimentasi laut, merupakan upaya pemerintah untuk mengenjot pendapatan PNBP.
"Sikap ini diambil di tengah besarnya utang pemerintah dan tidak kunjung jelasnya investor proyek ibu kota negara (IKN)," kata Abdul
Di Luar itu, pemerintah memang sengaja membuka keran investasi termasuk di sektor tambang pasir laut karena momentum pemilihan umum atau Pemilu 2024 sudah semakin dekat. Hal itu untuk memudahkan para politisi mendapatkan dana politik.
"Pemilu biasanya para politisi baik legislatif dan eksekutif meloloskan sejumlah kebijakan yang memudahkan mereka untuk mendapatkan rente, yang nantinya bisa digunakan (sebagai) biaya politik di tahun politik yang tengah terjadi saat ini," kata Abdul.
Setelah dilihat padahal PNBP tambang pasir laut tidak terlalu besar. "Saya sudah cek (PNBP) pasir laut, tidak seberapa, tetapi kemudian mereka (pengusaha) mendapatkan konsesi yang diberikan, pada akhirnya ikut membiayai politik, apakah partai menteri, menteri sendiri, atau pihak lainnya," kata Abdul.
Kedua pihak kemudian diuntungkan dengan hadirnya peraturan pemerintah tersebut. Pengusaha diuntungkan karena dapat izin ekspor pasir laut, politikus diuntungkan karena mendapat setoran untuk biaya politik. "Dugaan saya seperti itu," katanya.
Bahkan kebijakan yang sama juga terjadi di beberapa sektor lainnya, seperti halnya pembukaan izin kapal asing boleh melaut di perairan Indonesia, di tengah tata kelola perikanan di dalam negeri belum selesai.
"Ini biasa terjadi di masa tahun politik,” katanya.
Seperti halnya yang terjadi tahun lalu, Indonesia ramai soal benih lobster. Padahal ekspor benih lobster keluar negeri itu sudah bergerak sejak awal politik 2019. Sampai kemudian setelah Jokowi terpilih, kebijakan itu gencar dilakukan, tetapi diskusi jauh berlangsung sejak sebelum Pemilu.
"Artinya pembagian konsesi jelas, siapa jadi menteri, bagaimana laporan keuangannya, itu sudah diatur sejak awal," kata Abdul.
Hal yang sama juga diungkapkan Begitu juga yang disampaikan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin. Menurut Parid, ekspor pasir laut bukan solusi di tengah gempuran krisis iklim. “Kami khawatir menjelang Pemilu 2024 ini pemerintah memberikan karpet merah kepada pengusaha yang punya kepentingan,” katanya.
Aturan ini menjadi ancaman masa depan kelestarian laut. Misalnya di Kepri sudah nampak, banyak pulau kecil terancam tenggelam karena tambang pasir laut untuk Singapura yang terjadi puluhan tahun lalu. “Aturan ini tidak sejalan dengan pidato Jokowi di mimbar-mimbar internasional, ‘kami ingin laut biru, memulihkan mangrove’, itu semua jauh panggang daripada api,” kata Parid.
Pilihan Editor: Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut, Greenpeace: Tidak Belajar dari Kesalahan