TEMPO.CO, Jakarta - EconInsight, platform diskusi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) mengadakan diskusi mengenai mahalnya biaya logistik di Indonesia pada akhir Maret lalu. Diskusi dihadiri Dekan FEB UIII Dian Masyita, Kaprodi Magister Ilmu Ekonomi UIII Luthfi Hamidi serta mahasiswa dan dosen program Ilmu Ekonomi UIII, ahli industri, dan regulator.
Menurut Vice President of Technology JNE Andries K. Indrajaya, biaya logistik di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung tidak berubah, bahkan termahal di Asia Tenggara. “Biaya logistik kita diperkirakan mencapai 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hampir dua kali lipat dari Malaysia,” papar Andries dalam diskusi di forum EconInsight di FEB UIII.
Sebagai negara kepulauan, kata Andries, Indonesia memiliki biaya logistik sangat besar karena belum meratanya infrastruktur yang sudah dibangun. "Di Jawa yang terjangkau sekitar 60 persen, di Sumatera sekitar 20 persen, sementara di Kalimantan baru sekitar 3 persen,” terang Andries.
Sebagai contoh, Andries merujuk bagaimana biaya logistik pengiriman barang ke Kepulauan Seribu. Secara wilayah, Kepulauan Seribu masih dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Namun, biaya pengiriman paket ke Kepulauan seribu berbeda dengan DKI di daratan yang dikenai biaya Rp 9 ribu.
"Biaya yang sama tidak masuk untuk Kepulauan Seribu. Penyebabnya, wilayah itu baru dihubungkan oleh kapal tempel (kapal kecil) dengan muatan terbatas, sehingga biaya transportasinya menjadi lebih mahal," ujarnya.
Tentang bagaimana JNE bisa bertahan dan menekan biaya logistik ke depan, Andries mengatakan perlunya kolaborasi, khususnya untuk industri retail. Industri logistik dan mitra perlu berkolaborasi sehingga biaya yang ditimbulkan bisa ditekan.
Selain itu, perlu ada pemanfaatan excess capacity. Sebagai contoh, banyak perusahaan seperti Indomaret, Alfamart, Kimia Farma, dan Pegadaian yang memiliki tempat penyimpanan (warehouse) yang menganggur di titik-titik layanan.
“Kalau ini dimanfaatkan, mereka bisa mengenakan biaya lebih murah dibanding biaya komersial yang ada di pasaran. Mereka dapat memanfaatkan tempat yang belum terpakai itu dan imbal pendapatan sesuai perjanjian,” ujarnya.
Andries juga menjelaskan strategi bersaing yang dilakukan JNE untuk bisa bertahan. Pertama, JNE menerapkan teknologi tepat guna. Misalnya, JNE sudah menggunakan mesin otomatis shorting yang bisa menyortir hingga 40 ribu paket dalam 1 jam sehingga tercipta efisiensi.
Kedua, JNE sudah menggunakan pesawat sendiri. “Kami memiliki dua armada pesawat. Kalau harus pakai armada pesawat komersial, rutenya tidak selalu sesuai dengan pengiriman logistik kita, sehingga sering menunggu yang berujung keterlambatan dan biaya menjadi mahal,” ungkapnya.
Terakhir, Andries mendorong mitra JNE baik itu pesawat, bus, maupun kereta untuk bisa berbagi excess capacity. “Pesawat komersial itu kalau sudah jamnya berangkat dia akan jalan, padahal mungkin kargo mereka masih lega. Ini kalau bisa dikolaborasikan akan sangat menguntungkan bagi industri logistik,” ucapnya.
Pilihan Editor: Cara Membuat Akun SSCASN, untuk Daftar Sekolah Kedinasan