TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah merespons kritik yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY soal rasio utang negara.
Dalam sebuah video yang diunggah akun Twitter @PDemokrat pada 18 Januari 2023, AHY menyebut utang negara terus menumpuk. Sementara, cadangan devisa semakin menipis karena harus menahan nilai tukar rupiah yang akhir-akhir ini melemah.
Baca: Utang Indonesia Mencapai Lebih dari 7 Triliun, Simak 3 Faktanya
“Utang pemerintah dijadikan amunisi serangan kelompok oposisi dan manula post power syndrome terhadap pemerintah. Sayangnya informasi yang disajikan tidak utuh, rentan memprovokasi rakyat, sungguh sangat tidak elok,” ujar Said lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu, 28 Januari 2023.
Agar tidak berlebihan, dan mencemari aspek teknokrasi dan good governance sebagai basis tata kelola kebijakan utang, Said merasa terpanggil untuk berbagi informasi menyangkut tata kelola utang pemerintah. “Selebihnya menjadi hak rakyat untuk memberikan penilaian."
Sejumlah faktor dalam menilai utang pemerintah
Menurut politikus PDIP itu, dalam memberikan penilaian terhadap utang pemerintah, perlu mengacu pada beberapa pertimbangan penting. Antara lain; pertama ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, dan kedua perbandingan kebijakan utang dari berbagai negara, terutama dari negara negara yang sepadan dengan Indonesia.
Ketiga, credit rating dari berbagai lembaga internasional, serta keempat kebijakan mitigasi risiko pengelolaan utang pemerintah. “Pertimbangan itulah yang kita jadikan acuan agar jernih meletakkan informasi tentang utang pemerintah secara proporsional,” ucap Said.
Mengacu pada laporan pemerintah melalui APBN 2022, jumlah utang pemerintah hingga Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun atau setara 39,57 persen PDB. Meskipun dari sisi jumlah utang pemerintah lebih besar dibanding Desember 2021, yakni berjumlah Rp 6.908,87 triliun, tapi rasio utang terhadap PDB pada 2022 lebih rendah, dari 40,74 persen jadi 39,57 persen.
Keseluruhan utang pemerintah hingga Desember 2022 terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6.846,89 triliun atau 88,53 persen dari total utang pemerintah. Sisanya berupa pinjaman sebesar Rp 887,10 triliun atau 11,47 persen.
Berdasarkan pertimbangan dan data utang tersebut, Said pun membeberkan beberapa rincian. Pertama, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur batas atas pinjaman (utang) pemerintah, maksimal sebesar 60 persen dari PDB.
“Saat ini posisi utang pemerintah sebesar 39,57 persen PDB, artinya masih jauh di bawah ketentuan UU. Sehingga tidak ada norma peraturan perundang-undangan yang dilanggar pemerintah dalam menjalankan kebijakan utang,” kata dia.
Kedua, jika dibandingkan dengan negara yang sepadan, jumlah utang pemerintah jauh lebih rendah rasionya dari PDB negara negara tersebut. Said mencontohkan, rasio utang India mencapai 89,26 persen dari PDB-nya, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen.
Sementara, jika dibandingkan dengan negara negara maju, utang pemerintah justru jauh lebih rendah. Rasio utang Cina terhadap PDB 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat 137 persen, Jepang 262 persen, serta Singapura 160 persen.
Selanjutnya: “Kebijakan utang dari sejumlah negara ..."