"Memang ada faktor yang agak di luar prediksi yaitu Cina yang mendadak mengubah kebijakannya tentang zero COVID di Desember. Ia membuka diri sehingga terjadi balancing portfolio. Makanya di Desember kita gak ada Santa Claus Rally, terlihat ada dana asing yang keluar dari pasar kita," ujar Hans.
Secara umum isu sentral yang akan dihadapi pada tahun ini yaitu bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), yang masih beberapa kali akan menaikkan suku bunga meski relatif terkendali, yang diperkirakan juga akan diikuti oleh bank sentral lainnya seperti European Central Bank (ECAB) dan Bank of England (BoE).
"Tampaknya mereka akan mengekor The Fed, gak akan terlalu agresif. Kemudian pasar menanti apakah inflasi benar-benar turun tidak, indikasi awal inflasi di AS sudah turun terus ya menjadi 7,1 persen dari paling tinggi 9,1 persen. Eropa juga turun inflasinya dari paling tinggi di November, lalu mulai turun di Desember dan diperkirakan akan turun turus," kata Hans.
Investor kemungkinan akan keluar dari saham-saham berkapitalisasi besar pada paruh pertama tahun ini, termasuk sektor perbankan, katanya, namun akan kembali dibeli pada semester II.
Sementara untuk komoditas diprediksi hanya bagus sampai musim dingin lalu terkoreksi saat musim dingin berakhir. Sedangkan sektor teknologi berpeluang rebound pada paruh kedua 2023.
Ia menambahkan satu tahun menjelang pemilihan umum (pemilu), biasanya IHSG mengalami kenaikan 14-15 persen seiring meningkatnya belanja.
"Belanja itu mungkin akan ada Rp120 sampai Rp270 triliun yang meningkat karena pemilu, sehingga sektor consumer goods itu menarik. Biasa setahun sebelum pemilu indeks bisa naik 14-15 persen, kalau tahun pemilu 10 persenan ada," ujar Hans.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan pembaca.