Selain faktor harga, Sri Mulyani menilai masih banyak faktor lainnya yang memicu peningkatan konsumsi rokok di Indonesia. Di antaranya, iklan dan promosi rokok, pendidikan, serta akses yang mudah untuk membeli rokok ketengan atau eceran.
Peningkatan tarif cukai semakin mendesak lantaran rokok merupakan komponen pengeluaran terbesar kedua bagi rumah tangga, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan. Pengeluaran dana untuk rokok di rumah tangga miskin bahkan lebih tinggi ketimbang untuk membeli protein.
Menurut Sri Mulyani, situasi ini menimbulkan sebuah dilema untuk memengaruhi konsumsi rumah tangga agar lebih memprioritaskan belanja makanan bergizi atau barang-barang yang lebih dibutuhkan. Terutama untuk anak-anak agar bisa tumbuh lebih sehat dan produktif.
Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen juga akan meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen. Ia berujar rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan uang sebesar Rp 246.382 perbulan untuk rokok. Sedangkan seharusnya, uang tersebut dapat digunakan membeli tahu dan tempe sehingga meningkatkan gizi rumah tangga miskin.
Oleh karena itu, pemerintag sebelumnya menetapkan kenaikan tarif cukai sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Tarif ini akan berbeda sesuai dengan golongan meliputi Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini