Apalagi pengemudi ojol hingga kini tidak punya batasan jam kerja. Alhasil, pengemudi ojol pun tidak mendapatkan upah lembur saat bekerja lebih dari delapan jam.
Padahal dalam kegiatan bekerjanya sehari-hari, kata Lily, pengemudi ojol dipaksa untuk bekerja lebih dari 8 jam, bahkan hingga 15 jam. "Belum lagi bagi pengemudi ojol perempuan yang tidak mendapatkan hak-hak perempuan seperti cuti haid, melahirkan dan menyusui," tuturnya.
Di sisi lain, pengemudi ojol juga tidak mendapatkan haknya untuk mendirikan serikat pekerja. Karena itu, pengemudi ojol tidak dapat berunding dan membela anggotanya yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa alasan yang jelas dari aplikator.
Akibatnya, aplikator menjadi anti kritik karena ada larangan demonstrasi dan mogok kerja. Padahal mengeluarkan pendapat dan mogok adalah hak serikat pekerja dan diatur dalam undang-undang.
Sebelumnya, dalam RDPU pada 7 November 2022, Komisi V DPR menilai perusahaan ojek online masih belum patuh terhadap aturan tersebut. Komisi V DPR pun meminta aplikator ojek online seperti Gojek, Grab, dan Maxim mematuhi aturan batas biaya potongan komisi atau aplikasi terhadap pengemudi ojol maksimal sebesar 15 persen.
Anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra Sudewo juga mengungkapkan selama ini aplikator mengenakan potongan lebih dari ketentuan. " Ada yang memotong sampai 20 persen itu Grab, kemudian Gojek 20 persen. Ditambah lagi pemotongan sebesar Rp 5.000," ujarnya.
Sementara politikus Golkar Hamka Baco Kady mengaku telah mendapatkan banyak aduan dari pengemudi ojek online mengenai besaran biaya potongan oleh perusahaan aplikasi. Hamka pun minta di hadapan para aplikator agar mematuhi terlebih dahulu ketentuan potongan komisi sebesar 15 persen. "Sebab ini sudah beberapa kali pengemudi datang," tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI | BISNIS
Baca juga: Tarif Ojek Online Naik Sebulan Lebih, SPAI: Pendapatan Pengemudi Tak Kunjung Membaik
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini