Terakhir, keputusan pemerintah untuk meningkatkan subsidi bahan bakar dan menunda kenaikan harga bahan bakar di kuartal kedua 2022 di tengah meroketnya harga minyak. Langkah itu membantu mempertahankan tingkat inflasi dan daya beli yang relatif rendah.
Inflasi periode April-Juni 'hanya' rata-rata sebesar 3,79 persen dan mencapai puncaknya pada bulan Juni dengan laju inflasi sebesar 4,35 persen (YoY). Angka tersebut jauh di bawah laju inflasi Oktober sebesar 5,71 persen (YoY) dan puncaknya sebesar 5,95 persen (YoY) pada bulan September lalu.
“Paruh kedua 2022 menghadirkan berbagai tantangan yang tidak terlihat selama paruh pertama,” tutur LPEM FEB UI.
Sikap moneter agresif yang terus-menerus oleh bank sentral global juga mendorong pelarian modal dari pasar negara berkembang—termasuk Indonesia—menyebabkan depresiasi mata uang secara substansial. Dikombinasikan dengan kenaikan harga komoditas dan harga BBM, depresiasi Rupiah mendorong inflasi domestik ke level tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Meski demikian, ekonomi Indonesia masih berpotensi tumbuh di atas 5 persen hingga sisa tahun 2022. Khusus untuk kuartal ketiga 2022, low-base effect dapat mendongkrak pertumbuhan PDB karena ekonomi Indonesia mencatat laju pertumbuhan positif terendah selama era Covid-19 pada kuartal ketiga 2021 3,51 persen (YoY).
Selain itu, permintaan domestik yang kuat dan surplus perdagangan yang sangat baik akan menjadi pendukung tambahan bagi pertumbuhan Indonesia di sisa tahun 2022. “Kami memperkirakan PDB akan terus tumbuh sekitar 5,81 persen (YoY) pada kuartal ketiga 2022 (perkiraan berkisar 5,73 persen menjadi 5,81 persen) dan pertumbuhan 5,35 persen,” katanya.
Baca juga: Cegah PHK, Pengusaha Minta Importir Tekstil Ilegal Ditindak dan Pasar Ekspor Baru Digenjot
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini