Narasi-narasi seperti itu, kata Said, akan sangat merugikan buruh. Sebab, para pengusaha memanfaatkan situasi seperti saat ini untuk tidak menaikan upah dan melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing.
Yang juga penting, menurut Said, adalah pemerintah agar menetapkan kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Perhitungan itu dinilai lebih adil ketimbang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Pasalnya, dalam PP kenaikan UMP dilakukan dengan rumus batas atas dan bawah upah minimum wilayah bersangkutan. "Kami menolak PP 36 yang merupakan aturan turunan dari mnibus law yang sudah dinyatakan MK cacat formil. Oleh karena itu harus menggunakan PP 78," tutur Said.
Kondisi buruh, menurut Said, sangat mengenaskan saat ini, terutama karena kenaikan BBM yang memukul daya beli buruh jeblok hingga 30 persen. Apalagi sektor yang paling banyak dikonsumsi buruh harganya melonjak tinggi. Seperti makanan minuman, transportasi, dan tempat tinggal.
"Inflansi Januari hingga Desember diperkirakan sebesar 6,5 persen. Ditambah pertumbuhan ekonomi, prediksi Litbang Partai Buruh 4,9 persen. Jika di jumlah, nilainya 11,4 persen. Sehingga kenaikan upah yang kami minta adalah 13 persen," ucap Said.
Terakhir, kata dia, kalangan buruh tetap menolak omnibus law untuk diterapkan karena banyak pasal dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut yang merugikan kaum buruh. Said pun berharap Presiden Jokowi bisa mengeluarkan Perpu untuk membatalkan omnibus law tersebut.
NABILA NURSHAFIRA
Baca juga: 64 Ribu Karyawan Industri Tekstil Kena PHK, Pengusaha: Lebih Parah dari Saat Covid-19
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.