Pada masa itu, kata Faisal, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi yang sangat buruk dan tergambar dari tingkat inflasi yang mencapai ratusan persen. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, inflasi tembus 635,26 persen yang kemudian sering disebut hiperinflasi.
Hal tersebut akibat tidak terkontrolnya pencetakan uang, lemahnya produksi, hingga anjloknya sentimen terhadap rupiah. "Hyperinflation sampai dilakukan juga sanering, dilakukan juga redenominasi rupiah, sehingga membawa sampai ke krisis ekonomi, krisis politik juga akhirnya, sampai melengserkan presiden," tuturnya. "Nah hal ini yang kita justru ingin hindari, apalagi sudah ada ancaman resesi global juga ke depan."
Di tengah pembahasan ketentuan yang ada dalam RUU P2SK itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat di sela-sela pengumuman hasil rapat dewan gubernur bulanan pada Kamis lalu menekankan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi hingga kini berkomitmen menjaga independensi BI.
"Bapak presiden sendiri terus menegaskan independensi BI adalah merupakan hal mendasar sebagai salah satu pilar kredibilitas dari kebijakan ekonomi kita. Kebijakan makro ekonomi dan kebijakan di bidang ke bank sentral khususnya mengenai moneter," ujar Perry saat itu.
Sampai kini, dia mengaku, masih terus melakukan koordinasi mendalam terhadap para pemangku kepentingan untuk membahas RUU P2SK, terutama dengan para anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti Menteri Keuangan, Kepala Dewan Komisioner OJK, serta Kepala Dewan Komisioner LPS.
"Mengenai hal ini pada waktunya bersama pemerintah kami akan menyampaikan pandangan-pandangan secara bersama, termasuk berkaitan dengan apa yang diperlukan dalam mereformasi di sektor keuangan untuk terus mendorong ekonomi kita lebih tumbuh menuju Indonesia maju," kata Perry.
Baca juga: BI Buktikan Utang Korporasi Masih Aman Walau Rupiah Tembus Rp 15.579
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.