TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dan Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED) Ryan Kiryanto setuju dengan kebijakan Bank Indonesia yang memperpanjang pelonggaran ketentuan uang muka kredit atau pembiayaan bagi sektor properti maupun sektor kendaraan bermotor hingga akhir tahun depan.
Kata Ryan, di tengah tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral, termasuk BI-Day Reverese Repo Rate yang terus dinaikkan Bank Indonesia hingga kini di level 4,75 persen. Maka stimulus untuk masyarakat mudah mendapatkan pembiayaan dari sektor perbankan harus tetap di berikan demi menggeliatkan sektor ekonomi itu.
"Perpanjangan kebijakan terkait properti sangat tepat di masa pemulihan ekonomi untuk menggairahkan kembali sektor properti yang di masa pandemi tertekan," kata Ryan saat dihubungi, Jumat, 21 Oktober 2022.
Menurut Ryan kedua sektor tersebut juga turut akan menjaga pergerakaan perekonomian Indonesia karena memiliki efek pengganda atau multiplier effect yang luas. Mulai dari besarnya penyerapan tenaga kerja sektor itu hingga kebutuhan bahan baku yang kompleks.
Baca: BI Sebut Pertumbuhan Kredit Masih Tinggi Meski Suku Bunga Acuan Dinaikkan, Ini Buktinya
"Bangkitnya sektor properti berdampak positif bagi perekonomian krn sektor ini memiliki dampak pengganda yang luar biasa besar," ujar Ryan.
Apalagi, Ryan melanjutkan, daya beli masyarakat Indonesia selama masa pemulihan akibat dampak Pandemi Covid-19 ini sebetulnya masih sangat bagus, yaitu terjaga di atas 5 persen dalam tiga kuartal terakhir. Makanya, kebijakan stimulus ini penting di tengah tren kenaikan suku bunga acuan.
Selain itu, keputusan BI yang kembali menaikkan suku bunga acuan untuk Oktober 2022 sebesar 50 basis poin kemarin menurutnya juga ditujukan untuk menjagkar ekspektasi inflasi pelaku ekonomi yang sudah terlalu tinggi terhadap Indonesia, yaitu 6-7 persen.
Di sisi lain, juga ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus melemah saat ini. Ryan berpendapat penguatan dolar AS yang menyebabkan mata uang banyak negara saat ini melemah, termasuk rupiah, lebih disebabka sentimen ketimbang faktor fundamental. Makanya, BI terpaksa merespons permasalahan ini.
"Faktor sentimen global yang membuat Rupiah dan mata uang lainnya baik di negara maju maupun negara berkembang terkoreksi oleh dolar AS yang menciptakan fenomena baru, yakni super strong US Dollar saat ini," kata Ryan.
Baca: Suku Bunga Dasar Kredit Mulai Naik, tapi Belum Imbangi Bunga Acuan BI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini