Semua ini, kata Sri Mulyani, dipicu oleh peperangan yang terjadi di Ukraina. Peperangan itu membuat rantai pasokan dunia terganggung sehingga perdagangan pangan dan energi mengalami permasalahan dan berujung pada minimnya pasokan dari dua komoditas itu sehingga harganya melambung tinggi.
Padahal, Sri Mulyani melanjutkan, dunia baru saja dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi Covid-19 yang telah terjadi sejak 2019. Negara-negara dunia pun belum selesai menyelesaikan permasalahan keuangan negaranya yang terlilit utang demi menuntaskan permasalahan pandemi yang menekan kondisi ekonomi dan sosial masyarakatnya.
"Banyak dari kita yang memulainya dari tingginya posisi utang untuk membuat langkah yang luar biasa demi menyelamatkan ekonomi kita dari pandemi. Risiko ini telah membuat semakin buruk inflasi global dan mengancam stabilitas flobal," kata Sri Mulyani.
Risiko inflasi ini pun mau tidak mau harus direspons dengan kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral berbagai negara. Akibatnya, saat perekonomian baru tumbuh setelah terkontraksi saat pandemi, lajunya terhambat karena likuditas semakin mengetat.
"Ini membuat ancaman kepada pemulihan yang tengah berlangsung dan masih fregile. Kita bisa perkirakan situasi global masih akan sulit hingga akhir 2022 dan berkpenajangan hingga 2023," ujar Sri Mulyani.
Dengan kondisi itu, Sri Mulyani mengatakan kepada para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 bahwa risiko resesi dunia tidak bisa dikesampingkan. Maka, tagline Presidensi G20 Indonesia Recover Stronger, Recover Together dinilai kian relevan.
"Kepemipian yang kuat dan kerja sama yang kuat dibutuhkan untuk melindungi kehidurpan orang-orang yang dalam bahaya dan juga membawa ekonomi masyarakat kembali kuat, mencapai keseimbangan yang berkelanjutan, dan pertumbuhan yang inklusif," ujar dia.
Baca juga: Luhut Gunakan Istilah Perang Rakyat Semesta untuk Antisipasi Resesi, Apa Artinya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.