Sebaliknya, pemerintah malah menjadikannya sebagai Proyek Strategis Nasional. Padahal IKN adalah wilayah adminsitratif, bukan industri yang mempunyai proyeksi benefit ekonomi yang lemah.
"Jika proyek IKN yang hanya menguntungkan buat para oligarki malah lebih diprioritaskan daripada meningkatkan daya beli masyarakat yang masih terpuruk, maka bisa disimpulkan betapa buruknya leadership dan logika pemerintah saat ini," kata dia.
Kelima, di saat subsidi energi membengkak, pemerintah justru menyuntikan dana PMN atau penyertaan modal negara ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 7,88 triliun. Padahal BUMN seharusnya menjadi penopang APBN, tapi malah jadi beban negara.
Keenam, saat pemerintah menaikkan harga BBM dan masyarakat banyak yang menderita, Menteri BUMN Erik Tohir berjanji bakal menaikan gaji karyawan pelat merah untuk merespons kebijakan tersebut. Janji Erick tersebut mengindikasikan bahwa kinerja dan pendapatan BUMN pada tahun ini telah meningkat.
"Publik bertanya-tanya, jika memang BUMN ada kenaikan pendapatan kenapa minta suntikan dana PMN untuk modal tambahan?" tuturnya.
Padahal, menurut Achmad, jika ada kelebihan pendapatan selayaknya diserahkan sebagai dividen kepada negara. Dengan begitu, pemerintah bisa mempertahankan harga BBM yang akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat dan manfaat itu tidak hanya dirasakan oleh karyawan BUMN saja.
Soal kenaikan harga BBM ini, ia menyayangkan DPR tak berperan memperjuangkan aspirasi rakyat. Publik pun sudah kehilangan harapan dari DPR karena yang diperjuangkan bukan lagi rakyat, tapi partai dan para oligarki. "DPR saat ini tidak mempunyai sensitifitas dan empati untuk bisa menterjemahkan keluhan masyarakat."
Baca: Tak Bisa Bahasa Inggris, Bahlil Ungkap Jurus Bisa Jadi Menteri Investasi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.