TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menilai pemerintah berulang kali memperlihatkan inkonsistensi. Ia menyebutkan ada enam inkonsistensi pemerintah, khususnya dalam kebijakan kenaikan harga BBM.
"Bila disimak alurnya, maka yang berhati nurani akan tercengang betapa rusaknya logika pemangku kebijakan saat ini," kata Achmad melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 10 September 2022.
Pertama, ia mengatakan pemerintah mengeluh tentang jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena subsidi BBM. Hal ini yang menguatkan alasan pemerintah menaikkan harga BBM. Kebijakan itu dianggap satu-satunya jalan menyelamatkan APBN.
Kedua, kenaikan harga BBM dilakukan saat harga minyak dunia sedang turun. Menurut Achmad, hal itu bertolak belakang dengan nalar publik.
Ketiga, di saat pemerintah mengeluh dengan kondisi subsidi BBM yang membengkak, tapi dialihkan dalam bentuk bantalan sosial. Bantuan sosial atau bansos ini pun hanya mendongkrak daya beli untuk kurun waktu yang sangat pendek.
"Dan tidak meng-cover munculnya orang-orang miskin baru akibat masyarakat kelas menengah yang rentan menjadi miskin dan tidak terdata oleh Kementerian Sosial," tuturnya.
Keempat, kenaikan harga BBM berbarengan dengan momen pemulihan ekonomi malah menjadi penyebab kemerosotan daya beli masyarakat. Padahal, menurut Achmad, subsidi masih diperlukan untuk mempertahankan daya beli, dan itu semestinya dijadikan prioritas utama. Dengan kenaikan harga BBM, ia memperkirakan masyarakat bakal kembali terpuruk.
Lebih jauh Achmad menyayangkan pemerintah tak mengorbankan proyek infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN), sebelum akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM. Sebab, meskipun penting, proyek itu tidak mendesak atau bisa ditunda.
Selanjutnya: "IKN yang hanya menguntungkan oligarki malah lebih diprioritaskan."