TEMPO.CO, Jakarta -Pakar dan aktivis lingkungan menanggapi kabar PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang disebut menghambat industri untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan sikap PLN membingungkan jika menghambat transisi energi terbarukan itu.
Jika melihat Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang IUPTL untuk kepentingan umum didukung semua stakeholder. “Jadi agak bingung ketika PLN sebagai salah satu stakeholder utama menghambat,” ujar dia alam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Padahal sebetulnya penggunaan PLTS ini selain untuk rumah tangga, bagi industri juga bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka untuk mengurangi emisi karbonnya. Juga peningkatan daya saing untuk industri juga, karena saat ini jika melihat faktor emisi kelistrikan, Indonesia masih lebih tinggi daripada Vietnam yang emisinya 0,5 ton CO2 per megawatt hours, di Indonesia masih 0,8 on CO2 per megawatt hours.
Jadi, kata Adila, ketika industri menggunakan PLTS akan meningkatkan daya saing, belum lagi ke depannya di Eropa yang menerapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM). Indonesia jika ingin bersaing seharusnya mendorong transisi energi untuk industri dan rumah tangga.
“Namun, sumber masalahnya adalah oversupply yang ada di dalam PLN-nya itu sendiri, ini yang menyebabkan PLN menolak ini,” kata Adila.
Dia menilai hal itu harus dibenahi dari sekarang khususnya soal oversupply, jangan malah membangun PLTU baru dengan kapasitas 35.000 megawatt. Pemerintah dan PLN, Adila berujar, seharusnya mengatasi over capacity, karena ketika Indonesia masih terjebak dengan ketergantungan energi fosil, pasti tidak bisa merdeka.
Adila juga menyambungkan dengan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, salah satunya soal mengoptimalisasi energi bersih dan peningkatan ekonomi hijau. “Itu agenda Indonesia maju enggak akan tercapai ketika kita masih over capacity seperti ini dan membatasi masuknya energi terbarukan,” tutur Adila.
Sementara Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menjelaskan hal itu disebabkan karena lebih banyak melihat PLN sebagai korporasi. Seharusnya, yang dibicarakan konteks Indonesia, tapi tanpa mengorbankan PLN. “Makanya harus ada formula baku subsidi atau penanaman modal negara kepada PLN,” ucap dia.
Sehingga PLN diberi tugas untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan dan tidak merugi karena punya pola pikir korporasi. Faktor lainnya saat ini Erop sedang mempersiapkan untuk beberapa tahun ke depan ekspor dari produk yang menghasilkan emisi akan dikenakan pajak tambahan, artinya jika tidak meningkatkan energi terbarukan ekspor akan terganggu dan akan lebih mahal produknya. Langkah itu, menurut Berly, tidak bisa dadakan karena perlu waktu.