TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesian Initiative for Sustainable Mining, Jannus TH Siahaan, mengkritik pemerintah yang membiarkan perusahaan asing membeli hasil tambang nikel tanpa perbaikan lingkungan. Kritik tersebut dilayangkan setelah Tesla membeli nikel dari Indonesia senilai US$ 5 miliar untuk 5 tahun ke depan.
Jannus berpendapat ada risiko yang akan dihadapi Indonesia ke depannya. Menurut dia, semakin dalam keterlibatan Tesla dalam rantai pasokan tambang nikel di Indonesia, semakin besar juga biaya investas dan risiko yang dihadapi.
Baca Juga:
"Dan yang paling jelas adalah risiko lingkungan," kata Jannus dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 9 Agustus 2022.
Jannus mengatakan beberapa pekan lalu, koalisi non-governmental organization (NGO) internasional, termasuk yang berasal dari Indonesia, telah menyurati Tesla untuk tidak membeli nikel dari Indonesia. NGO memeprtimbangkan pembelian nikel itu mayoritas dilakukan secara tidak bertanggung jawab dan merusak lingkungan.
"Sayangnya sampai hari ini, pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak, sebanyak yang seharusnya," ujar Jannus.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kata Jannus, malah nyaris tidak melakukan inovasi kebijakan apa pun untuk mempercepat laju rehabilitasi lahan bekas tambang. Dia belum melihat bukti-bukti konkret yang terverifikasi dan bisa dikomunikasikan ke publik ihwal pencapaian perlindungan lingkungan dan rehabilitasi lahan tambang.
"Mereka hanya terpaku dengan jargon praktek-praktek pertambangan yang baik, yang minim keberhasilan implementasi, terutama di sektor lingkungan hidup," ucap Jannus.
Soal tak adanya bukti rehabilitasi, Jannus mencontohkan, hal ini terlihat saat Kementerian ESDM merilis keberhasilan reklamasi bekas tambang seluas 9.694 hektare pada 2020. Padahal data ini jauh di atas target yang ditentukan sendiri oleh mereka, yaitu 7.000 hektare.
"Namun sayangnya, data ini tidak dapat diverifikasi lokasinya di mana saja dan bukti-bukti keberhasilannya seperti apa. Data ini juga sangat subyektif karena tidak didampingi oleh informasi luas atau laju lahan yg dibuka akibat pertambangan," ucap dia.
Pada tahun yang sama, jumlah izin pertambangan logam dan batu bara yang berstatus operasi yang dikeluarkan Kementerian ESDM sudah mencapai 2.000-3.000 perusahaan. Artinya, dengan data reklamasi yang ada, rata-rata perusahaan melakukan reklamasi sebesar kurang lebih 3-4 hektare per tahun.
Di sisi lain, dia melanjutkan, data bukaan tambang nikel teranyar, untuk perusahaan skala kecil dengan produksi 150 ribu-500 ribu ton per tahun hanya berkisar 5-15 hektare per tahun, dan untuk skala menengah dengan produksi 500 ribu-800 ribu ton per tahun mencapai sekitar 15-25 hektare per tahun.
"Artinya pencapaian reklamasi yang didengung dengungkan tersebut sesungguhnya jauh dari kata berhasil. Dan jika tidak ada perubahan yang mendasar maka sampai kapan pun tidak akan pernah berhasil. Mendekati pun mungkin hanya mimpi," ujar Jannus.
Baca: Luhut Klaim Utang Indonesia Rp 7.000 Triliun Terkecil di Dunia, Bagaimana Datanya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.