"Saya tidak boleh menjadi kompetitor dari apa yang dibangun pemerintah. Masyarakat ataupun siapa pun, tidak boleh. Kita ini hanya menjadi sarana pelengkap. Jadi gaboleh terlalu gigantic," ucapnya.
Konsep komplementer yang ia usung berupa kemitraan agar pelaku UMKM di Pulau Rinca tak kehilangan pendapatan. Ia mencontohkan jika ada koperasi di sana yang menjual produk air minum kemasan seharga Rp 10 ribu, ia tak akan menjual dengan harga yang sama atau lebih murah. Melainkan ia akan menjual dengan harga lebih tinggi namun dibarengi fasilitas tambahan yang bisa dinikmati konsumen.
"Untuk orang yang duitnya ngepas beli ke koperasi. Jadi yang mau sambil foto-foto bagus itu ke kita. Jadi itu komplementer," tutur Yozua.
Konsep tersebut, tuturnya, yang selalu dijalankan Plataran Indonesia. Seperti proyek di Gelora Bung Karno (GBK) kata dia, UMKM dibiarkan hidup agar pengunjung seperti supir ojek bisa menikmatinya. "Beda kita yang mahal," katanya.
SKL juga akan mengusung tata ruang yang terbuka berupa viewing deck sehingga bisa diakses publik. Ia menuturkan masyarakat bisa lewat di lahan milik SKL dan hanya perlu bayar kalau memesan makanan. Yozua tak keberatan karena menurutnya lokasi yang ia miliki paling cantik dan strategis karena dekat dengan dermaga.
"Kalo saya egoistik saya pagerin tapi tidak ada pagar, masyarakat bisa lewat," ucapnya. Yozua mengungkapkan dirinya ingin wisatawan internasional, lokal, hingga tamu negara memiliki tempat yang pantas ketika berkunjung di Pulau Rinca.
Pembangunan di Pulau Rinca menurutnya boleh saja tidak merusak lingkungan asalkan harus memiliki ikon agar menarik para wisatawan untuk berkunjung.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Kenaikan Tarif Masuk Pulau Komodo Berisiko Turunkan Okupansi Hotel hingga Lapangan Kerja