TEMPO.CO, Nusa Dua - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan probabilitas atau kemungkinan resesi menimpa Indonesia jauh lebih rendah dari banyak negara. Meski begitu, pemerintah tetap mewaspadai berbagai potensi yang bisa meningkatkan risiko resesi.
“Kami akan memakai semua instrumen seperti kebijakan fiskal, moneter, termasuk finansial dan regulasi lain untuk memonitor dan menjaga risiko resesi ini,” kata Sri Mulyani di Nusa Dua, Bali, 13 Juli 2022.
Pekan lalu, Bank Dunia merilis laporan Global Economic Prospect yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global turun dari 5,7 persen pada 2021 menjadi hanya 2,9 persen pada tahun ini. Angka itu jauh lebih rendah dari proyeksi Bank Dunia pada Januari yang sebesar 4,1 persen. Sejumlah negara berkembang juga diprediksi menghadapi kondisi inflasi tinggi berkepanjangan (stagflasi).
“Perang di Ukraina, lockdown Cina, gangguan rantai pasokan global, dan risiko staglasi memukul pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” ujar Presiden Bank Dunia David Malpass dalam laporan tersebut.
Laporan Bank Dunia itu menyatakan kondisi ekonomi global saat ini sama dengan resesi global pada 1970-an. Ada tiga aspek utama yang mirip antara kondisi saat ini dengan masa lalu: gangguan pada sisi pasokan dan permintaan barang yang memicu inflasi, prospek pelemahan pertumbuhan ekonomi, serta kerentanan pada negara berkembang yang harus memperketat kebijakan moneternya demi menahan inflasi.
Menurut Sri Mulyani, beberapa negara memang lebih berisiko terkena inflasi akibat situasi geopolitik yang menyebabkan kenaikan harga bahan makanan dan energi dan berujung pada tingginya tingkat inflasi. Tingkat inflasi itu, kata Sri Mulyani, di sejumlah negara bahkan jauh lebih tinggi dari masa pandemi. Situasi ini diperburuk dengan kondisi geopolitik, yakni perang Rusia-Ukraina.
Sejumlah negara maju yang selama ini perekonomiannya relatif stabil juga terancam risiko resesi. Di Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, tingkat inflasi sudah mencapai 7-8 persen. Tingkat inflasi di Eropa juga sudah di atas 6 persen, begitu juga dengan Jepang. “Mereka adalah negara maju yang selama 1,5 dekade terakhir tingkat inflasinya nol persen.”
Ancaman resesi itu membesar pada sejumlah negara karena menurut Sri Mulyani, kondisi perekonomian negara tidak cukup kuat. Pertama, akibat neraca pembayaran yang tidak memadai sehingga berdampak kepada nilai tukar mata uang. Kedua, pertumbuhan ekonominya yang rendah. Ketiga, terkontraksinya perekonomian akibat belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. “Meningkatnya inflasi membuat situasi semakin kompleks.”
Sri Mulyani meyakini saat ini Indonesia memiliki daya tahan lebih baik dari ancaman resesi. Pasalnya, sejak krisis keuangan 2008, perekonomian Indonesia telah lebih prudent. “Eksposur pinjaman luar negeri kita turun, korporasi juga telah melakukan hedging, kemudian anggaran negara kita masih cukup kuat,” ujarnya.
Kendati begitu, Sri Mulyani tak membantah bahwa tingkat inflasi Indonesia juga mulai merangkak naik. Juni lalu, Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi tahunan telah mencapai 4,35 persen, di atas target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 3 persen. “Tekanan terhadap inflasi dapat memicu krisis. Tapi pemerintah teris melakukan langkah-langkah antisipasi selama kita punya instrumen dan kemampuan.”
Sebagai contoh, Sri Mulyani menyebut, pemerintah masih terus menahan kenaikan harga BBM dan listrik yang seharusnya sudah naik sejak lama. “Persoalan harga energi ini, kan, jika negara tidak mampu menahan maka yang harus membayar ya rakyatnya. Tapi karena Indonesia masih mampu, maka pemerintah tetap memberikan subsidi bagi harga energi.”
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) kata Sri Mulyani, hingga 2023 masih akan dirancang untuk menjadi bantalan untuk meredam guncangan akibat kenaikan harga-harga, terutama komoditas yang masih harus diimpor. “APBN kita masih kuat karena kita mendapatkan keuntungan dari windfall (kenaikan harga komoditas).”
PRAGA UTAMA (NUSA DUA)
Baca juga: Sri Mulyani Bahas Krisis Pangan dengan Cina
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini