Sisanya, dia mengatakan, smelter PTFI itu bakal rutin mencetak keuntungan bagi negara dari porsi dividen, pajak, royalti hingga pungutan dengan rata-rata nilai mencapai US$1 miliar setiap tahunnya. Hanya saja, dia menggarisbawahi, pemerintah perlu mengoptimalkan industri hilir berbasis EBT di dalam negeri untuk menyerap hasil pemurnian dan pengolahan konsentrat mineral logam itu dari puluhan smelter yang sudah efektif beroperasi pada 2023 mendatang.
Menurut dia, sebagian besar smelter masih melakukan kegiatan ekspor yang relatif besar untuk hasil pemurnian dan pengolahan mineral logam mereka. Alasannya, produksi dari sebagian besar smelter itu belum dapat ditampung oleh industri hilir domestik untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Konsekuensinya, investasi negara yang relatif besar pada sektor midstream mineral logam itu berpotensi tidak optimal lantaran tidak dapat diserap oleh industri hilir.
“Kalau industri hilirnya tidak muncul ya kita ada subsidi ya dengan membangun smelter baru ini kita rugi, kita subsidi sebenarnya kalau 100 persen diekspor berarti kita subsidi pembeli di luar negeri, pembeli di luar negeri yang untung kita bangun smelter, dia menerima katoda tembaga dan tidak perlu investasi,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan terdapat tambahan 7 pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter yang dapat beroperasi pada akhir tahun ini. Dengan demikian, total smelter yang bakal efektif beroperasi hingga akhir tahun ini mencapai 28 unit untuk mempercepat upaya hilirisasi komoditas mineral dan logam dalam negeri.
“Perkembangan pembangunan smelter sampai 2021 itu sudah ada 21 smelter beroperasi yang kemudian kalau kita lihat rencana 2022 itu akan ada tambahan lagi 7 smelter, tentunya kalau kita lihat mudah-mudahan bisa berjalan lancar hingga akhir 2022 itu menjadi 28 smelter,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif dalam Closing Bell CNBC Indonesia dikutip Rabu 1 Juni2022.
Adapun, Kementerian ESDM mencatat total investasi yang dibutuhkan untuk upaya percepatan pembangunan smelter hingga 2023 mencapai US$30 miliar atau setara dengan Rp435 triliun. Rencana anggaran itu naik 36,3 persen dari posisi awal yang dipatok sebesar US$22 miliar atau setara dengan Rp319 triliun pada 2021.
“Sampai 2023 itu dibutuhkan biaya pada perhitungan tahun lalu sekitar US$22 miliar, katakanlah ada inflasi kenaikan harga maksimum bisa US$30 miliar supaya rencana pendirian smelter itu sampai 2023 bisa terpenuhi,” ujar Irwandy.
Baca: Pabrik Smelter di Gresik, Freeport: Sesuai Rencana, Saat Ini Progress 21 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini