Surat berisi larangan tersebut disampaikan Ridwan kepada seluruh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Lalu, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan Batu Bara.
Larangan terbit usai Ridwan menerima surat dari Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada 31 Desember 2021. Lewat surat itu, PLN menyampaikan kondisi pasokan batu bara di PLTU mereka maupun di Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah.
“Sehingga akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional,” demikian pernyataan yang disampaikan PLN, yang kemudian diungkap Ridwan dalam suratnya kepada perusahaan batu bara.
Ridwan menyebut 10 juta pelanggan PLN ini mencakup masyarakat umum sampai industri. Tidak hanya di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), tapi juga non-Jamali. Jika larangan ekspor tidak dilakukan, Ia menyebut hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 Mega Watt (MW) akan padam.
"Kenapa semuanya dilarang ekspor? Terpaksa dan ini sifatnya sementara,” kata dia. Kalau pasokan batu bara untuk pembangkit sudah terpenuhi, maka keran ekspor bisa dibuka lagi. Nantinya, evaluasi akan dilakukan setelah 5 Januari 2022.
BACA: Ekspor Batu Bara Dilarang, Pengusaha Ungkap Potensi Dispute dengan Pembeli Luar