Keempat, situs atau website dari pinjaman online ilegal juga tidak jelas dan sering berganti-ganti lokasi. "Sementara kalau fintech legal, itu jelas website dan alamatnya, dan ada pengurusnya," kata dia.
Kelima, pinjaman online ilegal meminta akses data yang berlebihan kepada pengguna. Sebagai patokan, Rina menyebut sebuah perusahaan pinjaman online yang legal yang diperkenankan meminta tiga akses saja di handphone pengguna yaitu kamera, mikrofon, dan lokasi.
Keenam, pinjaman online ilegal melakukan penagihan yang tidak sesuai etika. Sementara di perusahaan legal seperti di AFPI, Rina menyebut sudah ada kode etik penagihan yang diatur bersama untuk para anggota. "Ini kami tegakkan untuk semua anggota," kata dia.
Meski demikian, keluhan terpantau muncul di media sosial perusahaan pinjaman online yang sudah legal sekalipun, yang menjadi anggota AFPI. Beberapa di antaranya mengeluhkan cara penagihan cicilan yang dilakukan dengan cara yang kasar.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan pihaknya membutuhkan tanggapan balik dari masyarakat pengguna pinjaman online. Sehingga, asosiasi bisa melakukan pengawasan dengan lebih efektif. "Enggak mungkin AFPI bisa melototi seluruh anggota kami, itu kan enggak mungkin," kata Sunu dalam media gathering pada Jumat, 22 Oktober 2021.
Sebab, kata dia, ada banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pinjaman online ini. Ia mencontohkan perusahaan penagihan yang bekerja sama dengan perusahaan pinjaman online. "Jumlah karyawannya bisa ratusan," kata Sunu.
Baca juga: Satgas Waspada Investasi: Tak Ada Layanan Pengaduan di Pinjol Ilegal
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.