"Rasanya kehadiran kereta cepat sangat tidak mendesak. Apalagi mengingat kereta cepat sejenis Shinkansen pada galibnya hadir untuk jarak jauh seperti Tokyo-Osaka yang jaraknya hampir sama dengan Jakarta-Surabaya," ujar Faisal.
Sejatinya, kata Faisal, kereta cepat dengan beberapa kelebihannya adalah substitusi atau pesaing dekat pesawat terbang. Jika dengan kereta cepat, ia memperkirakan Jakarta-Surabaya bisa ditempuh sekitar 2,5 jam. Tiba di stasiun lima menit sebelum berangkat masih memungkinkan, berbeda dengan pesawat yang perlu waktu sebelum keberangkatan. Jadi, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pesawat terbang.
Kalau kereta cepat dibangun untuk rute Jakarta-Surabaya, maka setidaknya bisa singgah di Cirebon dan Semarang. Dengan demikian, load factor bisa dioptimalkan. Kedua kota itu sudah memiliki daya beli yang memadai untuk memanfaatkan jasa kereta cepat yang lumayan mewah.
Jadi, dari segi permintaan tampaknya kereta cepat Jakarta-Surabaya jauh lebih menjanjikan dan kompetitor dekatnya hanya pesawat terbang. Situasi ini berbeda dengan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Selain itu, ia pun sempat menyoroti keikutsertaan PTPN VIII dalam konsorsium proyek kereta cepat. "Apakah pantas perusahaan perkebunan dipaksa berinvestasi di sektor perkeretaapian? Mengapa PTPN VIII tidak didorong untuk mengembangkan industri pengolahan produk-produk perkebunan saja?"
Kalau ngotot terus dijalankan, kala itu Faisal meminta pemerintah menghitung juga besarnya pinjaman dalam valuta asing serta beban pembayaran bunga dan cicilan dalam valuta asing, sedangkan penerimaan seluruhnya dalam rupiah.
"Analisis maslahat-ongkos (cost-benefit analysis) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung rasanya kurang meyakinkan. Kesannya terlalu dipaksakan," ujar Faisal enam tahun lalu.
Baca: Beli Tiket Damri Pakai ShopeePay Cashback 30 Persen sampai 30 September