TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menyelesaikan pembangunan Satelit Republik Indonesia atau SATRIA I yang ditargetkan mulai beroperasi secara komersial pada 17 November 2023. Pembangunan tersebut meliputi komponen infrastruktur dari sisi udara dan terestrial atau darat.
Pembangunan komponen dari sisi udara akan melibatkan kontraktor asing yang berpengalaman dalam pembuatan hingga peluncuran satelit. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate mencontohkan, sebagai peluncur, Indonesia menggandeng perusahaan Space Exploration Technologies Corporation (SpaceX) dari Amerika Serikat.
Sedangkan perusahaan Thales Alenia Space akan bergabung untuk penyelesaian pembuatan satelit. “Pembangunan komponen udara sedang berlangsung. Pembangunan satelit oleh Thales Alenia dan roket peluncurnya oleh SpaceX,” ujar Johnny dalam konferensi pers yanhg digelar secara virtual, Rabu, 18 Agustus 2021.
SpaceX merupakan perusahaan transportasi luar angkasa swasta asal Amerika Serikat yang didirikan oleh Elon Musk. Perusahaan ini sebelumnya berpengalaman mengembangkan roket Falcon yang menjadi kendaraan peluncur satelit. SpaceX juga mengembangkan wahana antariksa SpaceX Dragon untuk mengirimkan suplai logistik serta pergantian awak stasiun luar angkasa.
Sedangkan Thales Alenia Space adalah perusahaan kendaraan antariksa asal Prancis yang menangani penyediaan satelit telekomunikasi, cuaca, militer, dan keperluan penelitian alam. PT Telkom Indonesia pernah menggunakan jasa Thales Alenia Space untuk membuat satelit Telkom-3S.
Sementara itu untuk pembangunan gateway, Indonesia menggandeng kontraktor China Great Wall Industry Corporation (CGWIC) bersama North West China Research Institute of Electronics Equipment (NWIEE). Dari sisi monitoring, perusahaan Kratos Defense & Security Solutions Inc dari Inggris akan turut dilibatkan. Selanjutnya, perusahaan HUGHES asal Amerika Serikat akan menjadi kontraktor untuk pembangunan IP Hub.
Johnny mengatakan Indonesia telah memiliki peta jalan satelit untuk kebutuhan kapasitas koneksi Internet dan komunikasi yang sangat besar. “Kita butuh kapasitas 1 terabite, sedangkan yang tersedia baru 150 Gb. Kita masih butuh 700-800 Gb lagi,” ujar Johnny.
Adapun dalam proses pembangunan satelit SATRIA I, ia menyebut perlu pembiayaan jumbo. Proyek yang dibangun dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU ini memerlukan total investasi US$ 540 juta. Saat ini, pembiayaan berasal dari sejumlah lembaga pendanaan internasional.
Baca: Pemerintah Bakal Tarik Utang Rp 973,58 Triliun di 2022, Untuk Apa Saja?