TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan Indonesia hanya menikmati keuntungan nilai tambah sebesar 10 persen dari industri bijih nikel di Morowali dan Konawe. Sedangkan sisanya sebesar 90 persen menjadi keuntungan bagi investor Cina yang membangun smelter di kawasan industri tersebut.
“Dari seluruh nilai yang diciptakan, dari proses olah bijih sampai produk smelter, maksimal yang tinggal di Indonesia 10 persen. Jadi 90 persen dinikmati Cina. Indonesia hanya dijadikan ekstensi untuk dukung industrialisasi Cina,” tutur Faisal dalam tayangan YouTube milik pengamat politik, Refly Harun, yang diunggah pada Selasa, 27 Juli 2021.
Faisal mengatakan pengembangan industri nikel di kawasan ekonomi khusus Morowali dan Konawe sampai saat ini belum memenuhi hilirisasi. Sebab, tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama penghasil beterai.
Menurut Faisal, perusahaan-perusahaan smelter itu hanya mengolah sebagian besar bijih nikel pig iron (NPI) dengan produk akhir maksimal 20-25 persen. Dengan fasilitas yang ada, seperti tax holiday dan keringanan pajak ekspor, investor Cina dapat membeli olahan nikel setengah jadi ini dengan harga seperempat atau sepertiga lebih murah dari harga internasional.
Dampaknya bagi Indonesia, nilai ekspor akan naik. Namun nilai yang didapatkan Indonesia tidak maksimal.