Ia mengatakan itu merupakan instrumen yang nilainya bukan berdasarkan belanja, tapi berdasarkan untuk mengubah insentif agar semua pihak termasuk korporasi dan masyarakat tidak hanya sadar tapi juga mau mengadopsi komitmen iklim dalam keputusan investasi dan konsumsinya.
"Nah untuk itu tentu kita harus terus diversify berbagai instrumen yang kita miliki agar swasta bisa ikut serta. Karena tadi saya sebut, ada 32 persen yang didanai APBN langsung, maka kita coba attrack lebih banyak private sector," katanya.
Sri Mulyani mengatakan di dalam negeri yang coba dilakukan adalah memberikan insentif atau blended finance, yaitu Kerja Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
"Kita membuat jaminan, kita ikut mendanai projek supaya dia viable secara finansial dan kita memberinya insentif sehingga uang private bisa masuk," katanya.
Sementara di level global, ia mengatakan ada beberapa "ladang peperangan" yang dilakukan. Pertama, tentu dari sisi Indonesia untuk mendanai komitmen mendanai projek yang bersifat hijau, transformasi ke energi baru terbarukan (EBT), yang semuanya membutuhkan dana.
"Dan kita men-diversified dengan meng-issued green bond. Kita punya green sukuk bond sejak 2018. Indonesia termasuk dari sedikit negara di dunia, hanya 18 negara saja yang issued green bond dan kita secara cukup ajek dari 2018 waktu itu issued 1,25 miliar dolar AS, 2019 (keluarkan) 750 juta dolar AS, 2020 (keluarkan) 750 juta dolar AS, dan 2021 kemarin kita issued 750 juta dolar AS," ujar Sri Mulyani.
Bedanya, menurut Sri Mulyani, efek bersifat utang berwawasan lingkungan itu dikeluarkan untuk jangka waktu 30 tahun, sementara sebelumnya bertenor lima tahun.