TEMPO.CO, Jakarta – Koordiantor Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah Ismail mendesak aparat penegak hukum menginvestigasi penyebab kematian Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong. Ia mengatakan kematian Helmud secara mendadak dalam perjalanan di pesawat rute Bali-Makassar pada Rabu, 9 Juni 2021, janggal.
“Harapannya bisa diinvestigasi, dicari tahu lebih kematiannya ini seperti apa karena mendadak. Beberapa informasi menyatakan dia tidak ada sakit, tiba-tiba terdengar kabar itu,” ujar Merah saat dihubungi Tempo pada Jumat, 11 Juni 2021.
Menurut Merah, sebelum wafat, Helmud sempat berkukuh menolak pemberian kontrak perpanjangan izin usaha pertambangan atau IUP untuk perusahaan tambang emas, yakni PT TMS, yang modalnya digenggam oleh investor Kanada. Penolakan dilakukan sejak Helmud menjabat sebagai wakil bupati pada 2017 lalu.
Belakangan, aksi penolakan Helmud makin gencar. Helmud mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Airifn Tasrif 28 April 2021. Dalam salinan surat yang diterima Tempo, Helmud meminta Kementerian ESDM mempertimbangkan untuk membatalkan surat izin operasi kontrak karya PT TMS yang total proyeknya mencapai 42 ribu hektare. Izin tambang itu tertuang dalam surat Kementerian ESDM Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021 yang terbit pada 29 Januari 2021.
Menurut Helmud, izin pertambangan ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Merujuk pada undang-undang itu, semestinya pemerintah tidak menerbitkan IUP karena Pulau Sangihe adalah pulau kecil dengan luas 73.698 hektare yang rentan terhadap aktivitas pertambangan.
Bila dilanjutkan, kegiatan pertambangan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat karena bisa merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang, dan biota laut. Penguasaan wilayah pertambangan juga ditengarai akan berimbas pada hilangnya sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat.
Bahkan, masyarakat berpotensi terusir dari kampungnya dalam jangka panjang. Situasi tersebut ditakutkan akan melahirkan masalah sosial baru. Belajar dari pengalaman, Kementerian ESDM diminta untuk mempertimbangkan pemberian izin tambang karena hanya akan menguntungkan pemegang kontrak dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Di sisi lain, wilayah Sangihe merupakan wilayah perbatasan negara sehingga jika terjadi masalah akan menimbulkan konflik.
Tempo telah menghubungi Menteri ESDM Arifin Tasrif ihwal surat Helmud tersebut melalui pesan pendek. Namun, Arifin belum memberikan respons.
Selain meminta aparat penegak hukum melakukan investigasi, Merah juga mendorong Kementerian ESDM mengkaji ulang keputusannya memperpanjang izin investasi tambang. Merah mengatakan sudah ada preseden hukum tentang kasus pertambangan di pulau kecil dekat dengan Sangihe, yakni Pulau Bangka.
“Di Pulau Bangka pernah ada modal asing dari Cina untuk penambangan biji besi. Masalah itu sudah sampai ke Mahkamah Agung dan gugatan warga menang sehingga yurisprudensi hukum ini tidak boleh diabaikan oleh Menteri ESDM,” ujar Merah.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca: Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Meninggal di Pesawat Saat Perjalanan ke Makassar