Seperti paparan Kementerian BUMN di DPR Kamis lalu, 3 Juni, Garuda harus mengeluarkan biaya US$ 150 juta setiap bulan, padahal pendapatannya hanya US$ 50 juta. Utang Garuda, termasuk kepada lessor untuk sewa pesawat, membengkak sampai Rp 70 triliun.
Saat perusahaan membutuhkan suntikan untuk meringankan beban operasinya, dana talangan tahap kedua belum juga cair. Pencairan itu terganjal oleh key performance indicator atau KPI yang tidak dapat dipenuhi perseroan sepanjang kuartal I 2021. Dalam perjanjian OWK, pencairan dana talangan seharusnya diikuti dengan perbaikan kinerja perusahaan.
Irfan mengatakan target itu sulit dipenuhi karena pada awal tahun, kinerja Garuda terpengaruh oleh menurunnya jumlah penumpang karena berbagai kondisi. “Januari tanpa kami perkirakan, (kinerja perusahaan) jeblok habis. Itu karena ada aturan baru tentang (Swab) Antigen, PSBB diperketat, dan memang low season, ditambah larangan mudik,” kata Irfan. .
Padahal, Garuda telah mematok perbaikan kinerja mencapai 50 persen dari total pencapaian perseroan setahun penuh pada 2019. Sedangkan KPI dalam perjanjuan OWK pun masih mengacu pada kondisi akhir 2020, yang saat itu pemerintah dan Garuda optimistis kondisi maskapai penerbangan pelat merah bisa membaik karena sudah ada tren peningkatan jumlah penumpang.
Irfan mengatakan dana talangan untuk Garuda akan sangat membantu seumpama dapat direalisasikan. Tapi membantu kan bisa banyak cara, dengan MCB (OWK) lah, atau dengan mekanisme apa pun,” tutur Irfan.
Baca: Wawancara Eksklusif Bos Garuda Indonesia: Saat Berdiri Bahkan Kami Sholawat