Dari sisi biaya layanan dan bunga, fintech P2P anggota AFPI mematuhi total biaya yang tidak boleh melampaui 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.
Biaya bunga apabila peminjam menunggak lama pun tidak bisa lebih dari 100 persen. "Terakhir, sesuai arahan OJK, saat ini fintech P2P multiguna pun harus mendiversifikasi layanan ke sektor produktif. Karena tujuan besar kita memang mempermudah masyarakat unbankable dan underserved, meningkatkan taraf hidup para lender [pendana], mempermudah layanan finansial yang cepat dan aman, mendukung inklusi keuangan dan membantu mengisi credit gap yang ada di Indonesia," katanya.
Adapun, Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menambahkan bahwa penyelenggara P2P resmi dilengkapi dengan standar teknologi seperti tergabung dalam fintech data center, E-KYC, credit scoring, dan digital signature terpercaya.
"Maka dari itu, kalau dilihat approval rate kita rendah, kurang dari 50 persen karena saking banyaknya permohonan pinjaman. Memang kami cepat, tapi tidak sembarangan semua disetujui," katanya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Kus, masih banyak beroperasinya pinjol ilegal merupakan akibat gap permintaan dan penyediaan kredit atau pembiayaan di masyarakat masih mencapai Rp 1.650 triliun per tahun.
Sementara itu, penyelenggara fintech P2P baru bisa membantu merealisasikan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 74,41 triliun sepanjang 2020, naik 26,47 persen (year-on-year) dari Rp 58 triliun sepanjang 2019.
"Dengan gap sebesar ini, produk apapun pasti akan dicoba, termasuk (pinjaman online) yang ilegal. Oleh sebab itu, terpenting sekarang kita terus mengingatkan dan mengedukasi pengguna agar memastikan platform yang dipilih resmi terdaftar dan berizin OJK, serta bijak dalam mengajukan pinjaman, sesuai kebutuhan dan mempertimbangkan kemampuan," katanya.
BISNIS
Baca juga: Agar Kasus Guru TK Berutang Rp 35 Juta ke 24 Pinjaman Online Tak Terjadi Lagi