Kini Bitcoin tercatat sebagai aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia dan mulai diterima oleh sejumlah perusahaan besar Amerika Serikat dan perusahaan finansial.
Dengan semakin banyak permintaan akan uang digital itu, semakin tinggi harganya, dan penambangan Bitcoin dipastikan bakal semakin membutuhkan lebih banyak komputer dan energi.
Bitcoin diproduksi oleh sejumlah komputer bertenaga listrik tinggi yang beradu kecepatan dalam memecahkan teka-teki matematika yang kompleks. Rangkaian proses yang harus dilalui cukup panjang dan sangat haus energi. Proses itu sering kali tergantung pada bahan bakar fosil, terutama batu bara.
Dalam studi ilmiah Joule pada tahun 2019 disebutkan, terus meningkatnya produksi Bitcoin diperkirakan bakal menambah 22-22,9 juta metrik ton emisi karbon dioksida per tahun. Angka itu setara dengan emisi yang dihasilkan oleh Yordania dan Sri Lanka.
Walhasil, sejumlah kalangan semakin mengkhawatirkan semakin besarnya emisi yang dihasilkan oleh pertambangan Bitcoin itu.
Oleh sebab itu, industri cryptocurrency belakangan terus berupaya memitigasi dampak lingkungan dari pertambangan tersebut. Selain itu, belakangan juga muncul dorongan kepada lebih banyak korporasi besar yang masuk di pasar kripto untuk bisa memberikan insentif bagi produksi Green Bitcoin yang menggunakan energi terbarukan.
Data dari University of Cambridge's Centre for Alternative Finance menunjukkan sebanyak 70 persen pertambangan aset kripto di dunia ini berasal dari Cina. Sayangnya mereka tak tergerak untuk menggantikan bahan bakar fosilnya ke sumber energi terbarukan dalam pertambangan Bitcoin.
Dalam menambang Bitcoin, mereka hanya menggunakan energi terbarukan, terutama hydropower untuk musim hujan. Sisanya, mereka memilih menggunakan batu bara sebagai sumber energi.
REUTERS
Baca: Cuitan Elon Musk Juga Bikin Saham Terkait Bitcoin Ambrol Berjamaah