TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman membeberkan alasan pemerintah harus mencari utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021. Pada tahun ini, defisit APBN ditetapkan mencapai 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto atau sebesar Rp 1.006,4 triliun.
"Untuk 2021, defisit anggaran APBN ditetapkan 5,7 persen dari PDB. Sehingga diperlukan pembiayaan utang cukup tinggi," ujar Luky dalam siaran langsung, Senin, 25 Januari 2021.
Luky mengatakan pemenuhan pembiayaan APBN melalui utang di 2021 akan mengoptimalkan berbagai sumber pembiayaan, terutama dari pasar dan dukungan Bank Indonesia. "Dengan tetap mempertimbangkan kondisi kas, proyeksi penerimaan dan kebutuhan belanja pemerintah, biaya dan risiko utang, serta sentimen dan kondisi pasar keuangan baik global maupun domestik."
Pembiayaan APBN melalui utang, ujar Luky, salah satunya dilakukan dengan penerbitan SBN ritel, baik konvensional maupun syariah, misalnya ORI, SBR, Sukuk Tabungan, dan Sukuk Ritel. Pada 2021, pemerintah berencana menawarkan enam seri SBN ritel yang dijual online.
"Seri pertamanya dilakukan hari ini dengan penerbitan ORI019," kata Luky. Ia mengatakan penerbitan SBN ritel secara reguler dilakukan sebagai upaya memenuhi target APBN tahun berjalan, juga memberikan alternatif instrumen investasi yang aman bagi masyarakat.
Ia mengatakan salah satu program yang akan didukung dari dana penerbitan ORI019 antara lain adalah upaya penanganan dan pemulihan dampak pandemi Covid-19, salah satunya program vaksinasi yang sedang dicanangkan pemerintah. Pasalnya, ia meyakini vaksinasi akan menjadi game changer untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.