Dari luar negeri, Ibrahim melihat para pelaku pasar merespons positif keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan mempertahankan suku bunga acuan di bawah 0,25 persen dalam waktu yang lama.
Federal Reserve (The Fed) juga berkomitmen menjaga kebijakan pelonggaran kuantitatif. Lembaga yang dipimpin Jerome Powell ini menyiapkan dana US$ 120 miliar per bulan untuk membanjiri pasar dengan likuiditas, dengan membeli surat utang.
Disamping itu kabar stimulus fiskal di AS yang menemui titik terang. Titik terang mulai terlihat dari pembahasan stimulus fiskal di AS setelah Partai Demokrat dan Partai Republik merilis proposal senilai US$ 908 miliar Senin lalu. Partai Demokrat saat ini menguasai House of Representative (DPR) sementara Partai Republik menguasai Senat, hal ini yang membuat penambahan stimulus terus mengalami tarik ulur.
"Kabar baiknya, para ketua mayoritas dan minoritas di masing-masing "kamar" tersebut kini sudah bertemu dan sedang melakukan perundingan," kata Ibrahim.
Selain itu, Ibrahim menyebut kabar baik lainnya datang dari perundingan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah Brexit. Untuk diketahui, Inggris saat ini masih dalam masa transisi Brexit yang berakhir pada 31 Desember nanti. Jika sampai batas waktu tersebut belum tercapai kesepakatan, maka akan terjadi hard Brexit yang ditakutkan membuat perekonomian Inggris merosot, dan menyeret Eropa.
Perundingan antara Inggris dan Uni Eropa akhirnya menemukan titik terang. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen mengatakan sudah ada jalan menuju deal Brexit, dan beberapa hari ke depan akan menjadi penting.
Baca: Bank Indonesia Catat Modal Asing Keluar Rp 142,5 T selama 2020