Pada November lalu, BI menurunkan tingkat suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate hingga 3,75 persen dan menerapkan quantitative easing demi ketersediaan likuiditas di pasar keuangan. Sementara OJK mengambil langkah relaksasi dan restrukturisasi pinjaman untuk menjaga kesehatan sektor keuangan, termasuk perbankan yang saat ini kondisinya relatif baik dengan Capital Adequacy Ratio di atas 20 persen dan Non-Performing Loan di bawah 5 persen.
Jika pada akhir Maret lalu, sempat terjadi capital outflow serta depresiasi nilai tukar rupiah di atas Rp 16.500 per USD dan jebloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga lebih rendah dari 4.000 di akhir Maret 2020, namun belakangan kondisi membaik. Pada awal Desember ini, nilai tukar rupiah menguat ke Rp 14.000 per USD, sementara IHSG kembali ke kisaran 6.000.
Perbaikan pasar saham dan penguatan nilai tukar rupiah menjadi cerminan keyakinan tinggi untuk berlanjutnya pemulihan ekonomi Indonesia di triwulan IV 2020. Suharso mengklaim stabilitas makroekonomi juga tercermin dari tingkat inflasi yang stabil, defisit neraca berjalan yang rendah, dan cadangan devisa yang tinggi.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, ia yakin proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia direvisi dengan cepat. Dampak ekonomi yang pada awalnya diperkirakan akan berbentuk V, berubah menjadi huruf U atau bahkan huruf L.
International Monetary Fund yang pada awal 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 3,3 persen, merevisi proyeksi tersebut menjadi -4,4 persen pada Oktober 2020. "Lembaga internasional lain seperti Bank Dunia hingga Organisation for Economic Co-operation and Development juga memperkirakan terjadinya resesi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing sebesar -5,2 persen dan -4,5 persen pada 2020," ucap Suharso.
BISNIS
Baca: Karena Alasan Ini, Jokowi Yakin Ekonomi RI Sudah Lewati Titik Terendah