Dilema ketiga antara fleksibilitas dan compliance. Di tengah masa krisis ini, Sri Mulyani menyebut perlu ada fleksibilitas dalam pembuat keputusan. "Kami komunikasi dengan DPR bagaimana mendesain APBN fleksibel, tapi tetap akuntabel," kata Sri Mulyani.
Inilah kenapa UU Covid-19 lahir, yang memungkin penyederhanaan pengalokasian APBN di tengah pandemi. Walau kemudian, cara ini diprotes masyarakat dan sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilema keempat antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam pembiayaan defisit. Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebut Indonesia tidak memiliki kemewahan seperti yang dimiliki Amerika Serikat atau Uni Eropa dalam mencetak uang tanpa ada biaya.
Di Indonesia, kata dia, setiap penambahan Rp 1 rupiah, menciptakan beban bunga 8 persen. "Siapa yang akan menjadi penanggungnya?" tulis Sri Milyani.
Tapi, Sri Mulyani tidak menjelaskan bagian ini. Akan tetapi, sejumlah pihak memang sempat mengusulkan pemerintah mencetak uang untuk membiayai defisit. Pilihan itu ditolak oleh pemerintah dan BI.
Sebagai gantinya, pemerintah merombak aturan yang memungkinkan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Semula, BI hanya bisa memberi surat utang di pasar sekunder.
Baca: Sri Mulyani Beberkan Klaster yang Serap Anggaran Pemulihan Ekonomi Paling Rendah