Kekecewaan itu bertambah lantaran sejak awal, pengusaha yang bergerak di bidang pernikahan seperti wedding organizer, catering, perancang busana, hingga perias tak pernah mengabaikan imbauan dari pemerintah untuk menaati protokol, termasuk menjaga kapasitas maksimal tamu. Bahkan, asosiasi membuat kajian khusus untuk acara resepsi pernikahan di tengah pandemi, seperti aturan makan hingga komunikasi tamu dengan pengantin.
Konsep pernikahan di masa kebiasaan baru, kata Andi, tak serta-merta bisa langsung diterapkan karena harus melalui proses perembukan yang panjang dengan pemerintah. Untuk dapat menggelar resepsi, pengelola acara pernikahan pun harus mengajukan surat izin khusus kepada pemerintah daerah.
Ia merasa usahanya bersama kolega di asosiasi pernikahan untuk taat peraturan sia-sia dengan munculnya acara Rizieq. “Kami sudah merugi triliunan sejak Maret dari reschedule (pengalihan jadwal), down size (penurunan kapasitas tamu), hingga pembatalan acara,” katanya.
Dalam waktu dekat, Andie bersama koleganya akan menyurati pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terkait insiden ini. Dia akan meminta pemerintah menaikkan kapasitas tamu dalam acara pernikahan hingga 50-100 persen setelah PSBB transisi berakhir 22 November 2020.
“Kalau ada sebuah kelonggaran, berarti semua bisa memperoleh hak yang sama untuk membuat acara pernikahan. Kami minta lampu hijau dari pemerintah,” katanya.