“Banyak negara berkembang, rasio utangnya lebih tinggi dari Indonesia, disiplin ini konteksnya dalam extra ordinary adalah prestasi bagi Indonesia,” katanya.
Pemerintah sebelumnya memperlebar defisit APBN 2020 menjadi 6,34 persen dari PDB untuk penanganan Covid-19 dan PEN dan hingga 2022 akan diturunkan bertahap sampai mencapai batas maksimal 3 persen pada 2023.
Tahun 2021, defisit fiskal pada APBN diproyeksi mencapai 5,7 persen dari PDB.
Untuk mencapai penurunan defisit fiskal bertahap itu, lanjut dia, pemerintah akan mengoptimalkan pendapatan negara dan reformasi belanja negara agar berorientasi kepada hasil.
“Meningkatnya rasio utang diantisipasi dengan mengendalikan risiko lebih solid dan memanfaatkan sumber pembiayaan utang yang relatif murah dari pinjaman program bilateral dan lembaga multilateral,” katanya.
Berdasarkan data APBN KiTa, akhir September 2020 posisi utang pemerintah mencapai Rp 5.756,87 triliun.
Jumlah itu berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun atau 85 persen dan pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun.
Adapun penerbitan SBN itu, sebagian besar domestik mencapai Rp 3.629,04 triliun dan valuta asing Rp 1.263,54 triliun.
Sedangkan, dari sisi pinjaman itu berasal dari pinjaman dalam negeri mencapai Rp 11,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 852,97 triliun.
ANTARA
Baca juga: Sri Mulyani: Ada Saja yang Nyinyir ke Saya Soal Utang, Ya Enggak Apa-apa