Menurut Andy, klausula ini membuat efisiensi produksi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan menjadi sia-sia. Padahal, PLTA adalah salah satu sumber energi baru terbarukan yang paling memungkinkan untuk dikejar pembangunannya, demi mencapai target barusan energi bersih 23 persen pada 2025.
Saat ini, kata Andy, tahapan pengelolaan sumber daya air sudah dilaksanakan secara mandiri oleh PLN, bersama dengan PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali. Tapi sampai hari ini, pemanfaatan air sebagai PLTA baru mencapai 6,4 persen saja, dari total potensi 75 Giga Watt (GW).
Menurut Andy, BJPSDA yang dibebankan kepada PLTA hanya akan menambah beban pengeluaran dari pembangkit tersebut. Sehingga, biaya pokok produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya. Contohnya seperti PLTU yang rata-rata, berdasarkan laporan statistik PLN tahun 2018, Rp. 831.46 per kwh.
Selain itu, pengenaan BJPSDA kepada PLTA juga dinilai akan menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan negara oleh badan hukum lain. Lantaran, BJPSDA yang dikenakan tidak 100 persen masuk kepada negara.
Itulah sebabnya gugatan uji materi dilakukan. Mereka menggugat dua pasal, yaitu Pasal 19 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 1, serta penjelasan Pasal 59 huruf C. Pasal-pasal tersebut, kata Andy, terutama pengenaan BJPSDA akan membuat kenaikan harga listrik dari PLTA sebagai bagian dari beban produksi.
"Ini akan membebani masyarakat, karena akan dimasukkan dalam
harga jual listrik," kata dia. Saat ini, pengajuan materill gugatan ini pun telah diterima MK dan terdaftar dengan nomor 2017/PAN.MK/VIII/2020.
Baca juga: UU Sumber Daya Air Kembali Digugat ke Mahkamah Konstitusi
FAJAR PEBRIANTO