Pemohon mencontohkan penyiaran konvensional harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Dengan pedoman itu, konten siaran konvensional dalam melakukan aktivitasnya bisa dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia bila melakukan pelanggaran.
Sedangkan bagi penyelenggara penyiaran berbasis Internet, pemohon menilai tidak ada kewajiban untuk tunduk kepada P3SPS. Sehingga, sejumlah konten yang dihasilkan dianggap bisa luput dari pengawasan.
“Pembedaan perlakuan sebagaimana diuraikan dalam contoh di atas berimplikasi pada ketiadaan level playing field dalam penyelenggaraan penyiaran yang pada akhirnya sangat merugikan para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materiil maupun immateriil,” tutur pemohon dalam lembar gugatannya.
Dari gugatan uji mater ini, Mahkamah Konstitusi telah menggelar tiga kali sidang. Sidang pertama dijadwalkan pada22 Juni lalu. Sedangkan sidang kedua berlangsung pada 9 Juli. Adapun sidang ketiga dilaksanakan pada 26 Agustus dan dihadiri oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli menyatakan, bila permohonan pengujian UU Penyiaran dikabulkan, masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial. Musababnya, siaran hanya boleh dilakukan oleh lembaga penyiaran yang berizin.
Ramli menerangkan, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. "Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ujar Ramli dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, 26 Agustus 2020.