TEMPO.CO, Jakarta – Media televisi RCTI dan iNews TV yang tergabung dalam MNC Group mengajukan uji materi gugatan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi atau MK. Perusahaan menilai pengaturan penyiaran berbasis Internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ambigu.
Pengujian materi pertama kali dilayangkan pada Rabu, 27 Mei 2020, dengan pemohon I PT Visi Citra Mitar Mulia (INews) dan diwakili Direktur Utama David Fernando Audy serta Direktur Rafael Utomo. Sedangkan pemohon II ialah PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh dua direktur, yakni Jarod Suwahyo dan Dini Aryanti Putri.
Permohonan uji materi itu teregistrasi dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan petitum gugatannya, perusahaan meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk menyatakan bahwa Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran bertentangan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal itu berbunyi: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerimaan siaran dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan Internet untuk dapat diterma oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerimaan siaran.”
Pemohon menilai rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 itu menimbulkan multipersepsi yang akhirnya melahirkan kontroversi publik. Pemohon mengutip pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang mengatakan ada dua tafsiran hukum dari pasal itu. Tafsiran pertama menyebut media lain yang termaktub dalam pasal bisa meliputi penyelenggara penyiaran berbasis Internet alias over the top (OTT), seperti YouTube dan Netflix. Sedangkan tafsiran kedua menilai kedua siaran streaming itu tidak bisa dikategorikan sebagai media lainnya.
Pemohon menilai ketentuan pasal ini menimbulkan kerugian konstitusional. Sebab, pasal tersebut juga menyebabkan adanya perbedaan perlakuan antara para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunkan spektrum frekuensi radio dan OTT. Karena, tutur pemohon, penyiaran menggunakan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran.