TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra menceritakan bahwa perseroannya masih berada dalam kondisi babak belur akibat pandemi Covid-19 lantaran berkurangnya jumlah penumpang. Puncak penurunan tajam pergerakan penumpang tercatat pada Mei lalu ketika pemerintah memberlakukan PSBB.
Dia mencontohkan salah satu rute penerbangan dengan pergerakan yang sebelumnya diandalkan, yakni Jakarta-Denpasar, menjadi terpuruk pada masa pandemi. “Sebelum pandemi kami terbang ke Bali 16 frekuensi per hari. Setelah pandemi hanya satu kali,” tutur Irfan saat ditemui Tempo di kantornya, 29 Juli 2020.
Menurunnya jumlah penumpang juga didorong oleh aturan pemerintah setempat yang memberlakukan syarat masuk warga domestik berupa kewajiban tes swab atau PCR. Kala aturan itu diterapkan, Irfan berkisah maskapainya bahkan hanya mengangkut 20 orang penumpang dalam satu pesawat.
“Satu pesawat hanya diisi 20 orang penumpang. Padahal pada masa normal rata-rata kami bisa mengangkut 3.000 penumpang ke Bali,” tutur Irfan.
Penurunan okupansi membuat perusahaan rugi sebesar US$ 707,22 juta Rp 10,19 triliun pada semester pertama 2020. Informasi itu tertera dalam laporan perusahaan yang terbit pada 30 Juni 2020. Nilai itu berbalik dari laporan keuangan pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang membukukan laba bersih US$ 24,11 juta.
Sejumlah langkah, tutur Irfan, telah dilakukan untuk membuat keuangan perusahaan kembali segar. Misalnya dengan jaminan keamanan penumpang. Perusahaan juga sedang berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk kembali bepergian menggunakan angkutan udara.
“Karena sekarang yang terbang hanya mereka yang harus, seperti dinas, itu pun hanya 20 persen (dari total penumpang dibandingkan kondisi normal),” tutur Irfan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA