Terkait harga, Dadan menyatakan DME harus mampu lebih murah dibandingkan LPG. Begitu pula dengan nilai keekonomian proyek konversi ini. Dadan mengatakan nilainya akan tergantung pada harga LPG dan DME di pasar nantinya.
Konversi LPG ke DME ini merupakan program pemerintah untuk menekan impor LPG. Dalam lima tahun angkanya terus meningkat. Tahun lalu impor LPG tercatat mencapai 5,73 juta ton, naik dari tahun 2018 yang mencapai 5,54 juta ton. Angka tersebut merupakan sekitar 70 persen dari kebutuhan LPG nasional.
Salah satu alasan pemilihan DME adalah bahan baku yang melimpah di dalam negeri. Pemerintah mengandalkan batubara berkalori rendah yang kurang diminati pasar sebagai sumber DME. Dadan menyatakan untuk mengganti satu juta ton LPG, dibutuhkan 1,5 juta ton DME atau setara 6 juta tpn batubara. "Cadangan batubara kalori rendah kita saat ini ada sekitar 20 miliar ton," katanya.
Pengembangan DME sebenarnya telah dilakukan sejak 2010 lalu. Namun saat ini pemanfaatan DME menemukan titik terang lantaran PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina (Persero) bekerja sama untuk melakukan gasifikasi batubara untuk memproduksi DME. Proyek tersebut ditargetkan beroperasi pada 2023 mendatang.
Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie menyatakan proyek di Tanjung Enim itu masih berjalan sesuai rencana meski terjadi pandemi. Perusahaan bekerja sama dengan dengan Lembaga Minyak dan Gas Bumi untuk uji pemakaian DME. "Kami juga bekerjasama dengan Tekmira untuk kajian cost benefit analysis," ujarnya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan pihaknya berencana membangun empat pabrik DME untuk mengurangi impor LPG. "Kapasitasnya 1,4 juta metrik ton per pabrik," ujarnya. Perusahaan menyiapkan US$ 2,5 miliar untuk proyek gasifikasi ini.
EKO WAHYUDI | VINDRY FLORENTIN