TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Industri Kereta Api Indonesia (PT INKA) Budi Noviantoro membenarkan ada sejumlah gerbong kereta pesanan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI yang mengalami keretakan. Pengadaan gerbong kereta pesanan itu, kata dia, merupakan proyek tahun 2013 lampau.
“Betul, ini pengadaan gerbong untuk angkut peti kemas yang diisi semen dan atau batubara produksi 2013,” katanya kepada Tempo, Rabu, 8 Juli.
Budi menjelaskan, proses penyelesaian persoalan INKA dan KAI telah melibatkan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP). Langkah tersebut dilakukan untuk memenuhi prinsip good corporate governance (GCG).
“INKA dan KAI minta bantuan BPKP untuk memberikan saran dan pendapat terhadap proses dan prosedurnya,” tutur dia. Saat ini, Budi memastikan perusahaan sudah melakukan perbaikan terhadap gerbong-gerbong yang rusak.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartyanto sebelumnya menuturkan, gerbong kereta produksi INKA yang mengalami kerusakan jumlahnya cukup signifikan. “Itu jumlahnya signifikan dan ini sedang kami selesaikan. Kami ditengahi BPKP,” tutur Didiek dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 8 Juli.
Menurut Didiek, KAI sudah melaporkan masalah tersebut kepada Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Perseroan pun meminta arahan terkait kelanjutan hubungan kerja sama antara KAI dan INKA.
Adapun masalah ini lontarkan saat menanggapi usulan dari Komisi VI terkait efisiensi perusahaan. Dewan meminta KAI memperbarui pola manajemen, termasuk meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk mencegah adanya defisit arus kas.
Didiek menerangkan, perusahaan kereta milik negara itu sebelumnya sudah menggandeng INKA dalam pengadaan sarana. Bahkan, dia mengklaim hampir 90 persen gerbong milik KAI merupakan produk buatan INKA.
Imbas kejadian ini, Didiek mengatakan perusahaan ke depan akan membuka sistem lelang untuk pengadaan sarana yang dibutuhkan. “Apabila ada komponen TKDN, ada relaksasi harga pak. Jadi kalau ada TKDN di atas 25 persen, harga domestik bisa lebih mahal 25 persen dibandingkan dengan harga asing, kami sepakat,” tuturnya.