TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar mengatakan pandemi Covid-19, berpotensi menurunkan produksi rokok hingga 40 persen. Imbasnya, tenaga kerja Industri Hasil Tembakau (IHT) pun berpotensi menurun sekitar 26 persen.
"Penurunan produksi IHT selanjutnya akan berdampak pada rasionalisasi tenaga kerja, serapan tembakau dan cengkeh, hingga penerimaan negara," kata Sulami dalam dalam konferensi pers Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) pada Rabu, 17 Juni 2020.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah memutuskan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan berlaku mulai 1 Januari 2020. Kenaikan ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena tidak ada kenaikan pada 2019.
Inilah yang menjadi dasar potensi penurunan produksi rokok dan tenaga kerja di industri rokok. Sulami meminta Sri Mulyani mengkaji ulang kenaikan ini. Sebab, keputusan menaikkan cukai diambil saat situasi normal, sebelumnya adanya Covid-19.
Februari 2020 saja, kata dia, ada beberapa pengusaha yang telah memecat sekitar 800 sampai 900 pekerja mereka, sebeluma Covid-19. Tapi Sulami bersyukur sampai hari ini belum ada aksi PHK di pabrik anggota Gapero. "Mudah-mudahan tidak ada," kata dia.
Masalah belum sampai di situ. Menurut Sulami, pabrik rokok pun saat ini sudah menghadapi penurunan jumlah. Menurut dia, ada 8 pabrik besar dan 4.785 pabrik kecil menengah pada 2007. Namun pada 2019, diperkirakan hanya tersisa sekitar 487 pabrik rokok yang masih bertahan. "Hal ini akibat kebijakan yang berorientasi menekan industri rokok yang ada saat itu," kata dia.
Sulami juga menyebut kondisi inu terjadi karena adanya intervensi pesaing dari sektor
farmasi yang ingin merebut pasar rokok kretek. Tempo mengkonfirmasi hal ini kepada Sulami. "Saya bisa kirimkan bukunya, kalau dijelaskan di sini bisa panjang," kata dia.
Tapi indikasi yang jelas, kata dia, adalah maraknya penerbitan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda ini sudah ada di 22 provinsi dan 368 kab/kota dan berbagai kebijakan yang menghambat bahan baku dan penjualan serta periklanan.
Meski demikian, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wawan Juswanto menyebut kenaikan cukai rokok 23 persen tidak ujug-ujug terjadi. Tapi, kenaikan ini sudah mempertimbangkan masukan dari pengusaha rokok.
Selain itu, kata dia, kenaikan cukai ini juga memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja, khususnya industri kecil dan padat karya. "Baik buruh, petani tembakau, dan petani cengkeh," kata dia.