Kemudian dalam kluster pertanian lain, Pasal 14 diubah untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri. Dan Pasal 30 diubah menjadi kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor.
"Padahal di UU Perlindungan Petani tahun 2013, kegiatan impor dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan," tulis kajian tersebut.
Lalu pada Pasal 48 diubah menjadi denda praktik monopoli sebesar maksimum Rp 5 miliar dan pidana maksimum 3 bulan. Padahal sebelumnya pada beleid tersebut tercantum denda serendah-rendahnya Rp 25 miliar dan pidana maksimum 6 bulan. "Pasal ini meringankan hukuman bagi pelaku usaha monopoli, penegakan hukum semakin lemah," tulis kajian tersebut.
Selanjutnya pada klaster ketenagakerjaan, pada RUU Cipta Kerja Pasal 59 dihapuskan. Padahal sebelumnya pada salah satu beleid yang tertuang dalam pasal tersebut dijelaskan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Lalu pada Pasal 88 di RUU Cipta Kerja,menurut kajian tersebut Menghilangkan peran serikat pekerja dalam penentuan upah. Kemudian, adanya klausul pasal 88B yang mengatur pemberian upah kepada pekerja berdasarkan aturan waktu dan/atau satuan hasil, hal ini bisa dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memberikan upah yang minim, dan berisiko menurunkan daya beli masyarakat.
Selanjutnya pada pasal 88D, penghitungan kenaikan upah minimum tidak lagi berlaku secara nasional tapi menggunakan standar UMP dimana formula kenaikan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah.
Kemudian penghapusan Pasal 90 pada RUU Cipta Kerja, padahal pada klausul ini mencantumkan terkait sanksi bagi para pengusaha yang melanggar terkait ketentuan upah minimum. Lalu Pasal 151 juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi PHK dengan pihak perusahaan.